Perjanjian Indonesia-Singapura mendapat banyak kritik lantaran dianggap tidak memberi banyak keuntungan untuk Negara.
Awalnya pemerintah mengklaim perjanjian FIR telah membuat Indonesia mengambil alih penguasaan wilayah udara di Kepulauan Riau (Kepri), Tanjungpinang, dan Natuna, yang sejak Indonesia merdeka dipegang oleh Singapura.
Namun dalam perjanjian kerja sama itu, Indonesia masih memberikan izin pengelolaan ruang udara di sekitar Kepri kepada Singapura.
Kemudian perjanjian DCA mengizinkan militer Singapura berlatih di wilayah Indonesia, termasuk memperbolehkan pesawat tempur negeri Singa itu beredar di ruang udara sekitar Kepri dan Natuna.
Perjanjian DCA pun disebut-sebut sebagai timbal balik atas perjanjian ekstradisi yang memungkinkan Indonesia membawa pulang buron kasus hukum beserta asetnya dari Singapura.
"Di samping perjanjian FIR 2022 menurut saya berat sebelah, mengapa kok pemerintah mau men-tandemkan dengan perjanjian pertahanan yang tahun 2007 dipermasalahkan karena banyak peluang bagi Singapura untuk melanggar kedaulatan Indonesia?" papar Hikmahanto.
"Dalam narasi pemerintah selalu dikatakan mentandemkan ini bagus karena kita bisa mengejar buron kita yang ada di Singapura. Menurut saya ini absurd," tambahnya.
Kritik mengenai FIR juga disampaikan oleh Wakil Direktur Indonesia Aviation and Aerospace Watch (IAAW), Marsda (Purn) Subandi Parto. Subandi dalam beberapa kali kesempatan diminta oleh Komisi I DPR memberi pandangan terkait perjanjian FIR dengan Singapura.
"Dari tahun 1946 sampai 2022 selama 76 tahun masak kita Bangsa Indonesia masih dianggap belum mampu mengelola wilayah kedaulatan negara di ruang udara sendiri. Apakah hal itu tidaklah suatu keniscayaan? Terus kapan kita dianggap mampu?" tukas Subandi kepada Kompas.com, Kamis (27/1/2022).
Baca juga: Singapura Bisa Latihan Militer di Langit Indonesia Timbal Balik Perjanjian Ekstradisi Buronan
Kemudian anggota Komisi I DPR Effendi Simbolon mempertanyakan mengapa Pemerintahan Presiden Jokowi kembali membuka kerja sama yang sebelumnya sudah banyak ditolak, khususnya soal perjanjian DCA.
Effendi khawatir, kesepakatan tersebut akan mengancam kedaulatan negara. Apalagi dalam perjanjian DCA, Singapura diperbolehkan menggelar latihan militer bersama pihak ketiga di wilayah Indonesia.
Menurut politikus PDI-P ini, pemulangan kembali buronan yang kabur ke Singapura tidak sebanding jika ditukar dengan urusan pertahanan Indonesia.
”Keberatan kami itu sulit dijawab pemerintah. Kenapa kamu barter dengan military training area. Kenapa urusan ekstradisi, (mengejar) buron-buron itu kok digadaikan dengan ’kedaulatan’ kita?,” tukas Effendi, Kamis (27/1/2022).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.