Paket perjanjian yang dimaksud adalah 3 kerja sama menyangkut Penyesuaian Area Layanan Navigasi Penerbangan atau Flight Information Region (FIR) antara Indonesia dan Singapura. Kemudian soal Defense Cooperation Agreement (DCA) dan ekstradisi buronan.
Kerja sama tersebut ditandai dengan penandatangan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Singapura di Pulau Bintan, Kepulauan Riau, Selasa (25/1/2022). Penandatanganan kesepakatan disaksikan langsung oleh Presiden Jokowi dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong.
Tiga perjanjian kerja sama ini sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh Indonesia dan Singapura di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), namun akhirnya tidak diratifikasi lantaran menuai banyak penolakan.
Kini kesepakatan tersebut akan diratifikasi dengan dua cara berbeda. Pemerintah berencana meratifikasi perjanjian DCA dan ekstradisi lewat undang-undang di DPR RI.
Sedangkan untuk perjanjian FIR akan diratifikasi melalui Peraturan Presiden (Perpres). Pemerintah belum menjelaskan alasan memisahkan proses ratifikasi pada 3 perjanjian yang menjadi satu paket itu.
"Saya khawatir pemerintah sebenarnya tidak meninggalkan legacy atau warisan tapi justru permasalahan berlanjut yang membuat hubungan Indonesia-Singapura kurang harmonis," kata Hikmahanto dalam perbincangan dengan Kompas.com, Kamis (17/2/2022).
Dari pandangan Hikmahanto, berbagai penolakan terhadap paket perjanjian FIR-DCA-Ekstradisi akan berlanjut hingga masa pemerintahan berikutnya. Oleh sebab itu, kata dia, keputusan Pemerintah Jokowi mengenai proses kelanjutan perjanjian tersebut sangat penting.
"Ini karena rakyat akan meminta pemerintahan berikut untuk meng-unwind atau membongkar 3 perjanjian ini dengan berbagai cara," sebut Hikmahanto.
Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani ini yakin, keputusan Pemerintah untuk meratifikasi paket kerja sama secara terpisah nantinya akan dipersoalkan oleh Singapura.
Hikmahanto menilai, Singapura tidak akan bersedia apabila perjanjian FIR diratifikasi lewat Perpres sementara perjanjian DCA dan ekstradisi melalui Undang-undang di DPR.
"Coba sekarang pemerintah cek mau tidak perjanjian ekstradisi diratifikasi secara stand alone, tanpa dikaitkan dengan perjanjian FIR dan perjanjian Pertahanan. Saya yakin Singapura tidak akan mau melakukan pertukaran dokumen ratifikasi. Pertukaran ini menandakan mulai berlakunya perjanjian," tuturnya.
Banjir kritik
Perjanjian Indonesia-Singapura mendapat banyak kritik lantaran dianggap tidak memberi banyak keuntungan untuk Negara.
Awalnya pemerintah mengklaim perjanjian FIR telah membuat Indonesia mengambil alih penguasaan wilayah udara di Kepulauan Riau (Kepri), Tanjungpinang, dan Natuna, yang sejak Indonesia merdeka dipegang oleh Singapura.
Namun dalam perjanjian kerja sama itu, Indonesia masih memberikan izin pengelolaan ruang udara di sekitar Kepri kepada Singapura.
Kemudian perjanjian DCA mengizinkan militer Singapura berlatih di wilayah Indonesia, termasuk memperbolehkan pesawat tempur negeri Singa itu beredar di ruang udara sekitar Kepri dan Natuna.
Perjanjian DCA pun disebut-sebut sebagai timbal balik atas perjanjian ekstradisi yang memungkinkan Indonesia membawa pulang buron kasus hukum beserta asetnya dari Singapura.
"Di samping perjanjian FIR 2022 menurut saya berat sebelah, mengapa kok pemerintah mau men-tandemkan dengan perjanjian pertahanan yang tahun 2007 dipermasalahkan karena banyak peluang bagi Singapura untuk melanggar kedaulatan Indonesia?" papar Hikmahanto.
"Dalam narasi pemerintah selalu dikatakan mentandemkan ini bagus karena kita bisa mengejar buron kita yang ada di Singapura. Menurut saya ini absurd," tambahnya.
Kritik mengenai FIR juga disampaikan oleh Wakil Direktur Indonesia Aviation and Aerospace Watch (IAAW), Marsda (Purn) Subandi Parto. Subandi dalam beberapa kali kesempatan diminta oleh Komisi I DPR memberi pandangan terkait perjanjian FIR dengan Singapura.
"Dari tahun 1946 sampai 2022 selama 76 tahun masak kita Bangsa Indonesia masih dianggap belum mampu mengelola wilayah kedaulatan negara di ruang udara sendiri. Apakah hal itu tidaklah suatu keniscayaan? Terus kapan kita dianggap mampu?" tukas Subandi kepada Kompas.com, Kamis (27/1/2022).
Kemudian anggota Komisi I DPR Effendi Simbolon mempertanyakan mengapa Pemerintahan Presiden Jokowi kembali membuka kerja sama yang sebelumnya sudah banyak ditolak, khususnya soal perjanjian DCA.
Effendi khawatir, kesepakatan tersebut akan mengancam kedaulatan negara. Apalagi dalam perjanjian DCA, Singapura diperbolehkan menggelar latihan militer bersama pihak ketiga di wilayah Indonesia.
Menurut politikus PDI-P ini, pemulangan kembali buronan yang kabur ke Singapura tidak sebanding jika ditukar dengan urusan pertahanan Indonesia.
”Keberatan kami itu sulit dijawab pemerintah. Kenapa kamu barter dengan military training area. Kenapa urusan ekstradisi, (mengejar) buron-buron itu kok digadaikan dengan ’kedaulatan’ kita?,” tukas Effendi, Kamis (27/1/2022).
https://nasional.kompas.com/read/2022/02/17/19132841/pakar-khawatir-pemerintah-jokowi-tinggalkan-legacy-buruk-karena-paket