JAKARTA, KOMPAS.com - Perjanjian kerjasama pertahanan atau Defence Cooperation Agreement (DCA) antara Indonesia dan Singapura punya sejarah cukup panjang. Perjanjian ini tidak terlepas dengan kesepakatan soal ekstradisi buronan.
Seperti diketahui, Indonesia dan Singapura baru saja menandatangani 3 perjanjian yaitu soal penataan kembali flight information region (FIR), ekstradisi buronan, dan DCA. Ketiga perjanjian ini menjadi satu paket yang harus berjalan secara paralel.
Pemerintah Indonesia di tahun 2007 telah membuat perjanjian yang sama. Saat itu, Pemerintah Indonesia yang berada di bawah pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menggagas paket perjanjian yang sama.
Namun akhirnya, perjanjian tersebut tidak diratifikasi oleh DPR RI. Sebab, Singapura rupanya masih enggan memenuhi kesepakatan mengenai ekstradisi yang dapat memulangkan buronan-buronan Indonesia beserta aset-asetnya.
Indonesia pun akhirnya menolak untuk menjalankan kesepakatan DCA yang salah satu poinnya adalah mengizinkan militer Singapura menggelar latihan di wilayah teritori Indonesia.
Baca juga: KSAU Sebut Pesawat Tempur TNI AU Kini Tak Harus Izin Singapura jika Melintasi Kepri
Hal tersebut disampaikan oleh Marsekal (Purn) Agus Supriatna saat masih menjadi Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU).
"Kesepakatannya kan jadi satu dengan ekstradisi, Singapura belum setujui ya kita juga nggak setuju. Segitu kerasnya. Kami ingin jadi satu dengan ekstradisi sehingga belum ada ratifikasi (Defense Cooperation Agreement)," ujar Agus Supriatna di Istana Kepresidenan, Selasa (8/9/2015), seperti dikutip dari Kompas.com.
DCA yang mengatur mengenai Military Training Area (MTA) itu 'dikejar' oleh Singapura agar angkatan militernya bisa latihan pesawat tempur di ruang udara Indonesia.
Hal itu lantaran Singapura hanya memiliki wilayah teritori udara yang kecil sehingga perlu 'menumpang' Indonesia, di area-area yang berbatasan dengan wilayahnya.
Kerjasama peminjaman tempat latihan pesawat tempur ini sudah pernah dilakukan oleh Indonesia dan Singapura di era pemerintahan Presiden Soeharto.
Baca juga: Ruang Udara Kecil Jadi Pertimbangan, Singapura Juga Boleh Latihan di Langit RI Saat Era Soeharto
Perjanjian dibuat tahun 1995 untuk durasi 5 tahun yang kemudian disahkan melalui Keppres Nomor 8 Tahun 1996 tentang "Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of Singapore on Military Training in Areas 1 and 2".
Namun karena dianggap lebih banyak merugikan Indonesia, kesepakatan tidak dilanjutkan setelah diberlakukan dalam 5 tahun. Hingga kemudian, kesepakatan yang sama mulai dibicarakan kembali melalui draft DCA tahun 2007.
Hanya saja DPR tak mengesahkan DCA itu dalam proses ratifikasi. Kemudian kesepakatan tersebut diaktualisasikan lewat perjanjian yang baru diteken beberapa hari lalu dan diakui Menhan Prabowo Subianto merupakan kesepakatan yang sama dengan tahun 2007 itu.
"Dia (Prabowo) mengakui bahwa ini dokumennya sama dengan yang 2007 dan dia memahami ini kebutuhan politik dan dia hanya concern di wilayah DCA dia," kata Anggota Komisi I DPR, Effendi Simbolon di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (27/1/2022).
Baca juga: Kesepakatan DCA Buat Pesawat Tempur Singapura Bisa Numpang Latihan di Langit RI
Politikus PDI-P itu juga mengaku terkejut pemerintah melanjutkan kesepakatan tahun 2007, termasuk dengan memberi izin Singapura menggunakan ruang udara Indonesia berlatih pesawat tempur.
"Kenapa kamu barter sama military training area, kenapa kamu kasih kesempatan untuk melakukan exercise di wilayah udara, laut kita," ungkap dia.
Effendi khawatir, kesepakatan ini akan mengancam kedaulatan negara. Apalagi dalam perjanjian DCA, Singapura diperbolehkan menggelar latihan militer bersama pihak ketiga di wilayah Indonesia.
"Pihak Singapura minta menggunakan military training area-nya bukan hanya dia sendiri lho, dia bisa menggunakan untuk latihan bersama lho. Masya Allah gua bilang," tutur Effendi.