JAKARTA, KOMPAS.com – Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengecam segala tindakan represif dan eksesif negara dalam menghadapi protes yang dilakukan masyarakat.
Terbaru, dalam aksi unjuk rasa menolak pertambangan di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, seorang warga tewas tertembak oleh aparat yang bertugas menjaga situasi.
“Dalam sepekan terakhir, negara begitu represif dan eksesif dalam menangani masyarakat yang memprotes tambang,” kata Usman kepada Kompas.com, Senin (14/2/2022).
Ia pun mendesak agar negara berhenti mengerahkan kekuatan dan kekerasan berlebihan dalam menanggapi protes warga.
Baca juga: Amnesty Internasional Minta Presiden Perintahkan Kapolri Usut Dugaan Penembakan di Parigi
Sebab, sudah menjadi tugas negara untuk melindungi setiap masyarakat yang memiliki perbedaan pendapat.
“Siklus kekerasan ini harus dihentikan. Negara wajib melindungi mereka yang berbeda pendapat dengan negara,” ujarnya.
Lebih jauh, Usman mendorong agar negara mengedepankan dialog dalam rangka melaksanakan pembangunan. Sebab hal itu penting untuk melindungi hak masyarakat.
Selain itu, dialog juga diperlukan untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan yang didasarkan informasi sejak awal, dan tanpa paksaan atas rencana penambangan di wilayah itu.
“Pembangunan tanpa persetujuan adalah pelanggaran HAM,” tegas Usman.
Apalagi, dalam konteks hak atas kebebasan berkumpul dan berekspresi juga telah dijamin dalam UUD Indonesia, yaitu Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, serta Pasal 24 ayat (1) UU Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Baca juga: YLBHI: Warga Wadas Sudah Menolak Pertambangan Sejak Tahun 2013
Selain itu dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) secara eksplisit menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 dan hak untuk berkumpul secara damai, sebagaimana diatur dalam Pasal 21.
Adapun instrumen itu mengikat semua negara yang telah meratifikasinya, termasuk Indonesia.
Diketahui, dalam sepekan terakhir ada dua peristiwa yang cukup menyorot perhatian publik, lantaran terdapat tindakan represif aparat kepolisian.
Pertama kejadian di Desa Wadas, Jawa Tengah. Pada Selasa (8/2/2022), di media sosial banyak beredar video ratusan aparat dengan senjata lengkap mendatangi Desa Wadas dan menangkap warga sekitar yang menolak kegiatan pengukuran lahan untuk pembangunan Bendungan Bener.
Kuasa hukum warga Desa Wadas, Julian Dwi Prasetya mengatakan, ada sekitar 60 warga yang ditangkap aparat dalam peristiwa itu.
“Saat ini saya sedang di Polres Purworejo. Total ada 60-an (warga Wadas ditangkap),” kata Julian pada Kompas.com, Rabu (9/2/2022).
Adapun pembangunan Bendungan Bener ini memerlukan pasokan batuan andesit sebagai material pembangunan. Oleh pemerintah, kebutuhan batuan ini diambil dari Desa Wadas.
Dari laman petisi terungkap, luas lahan di Desa Wadas yang akan dikeruk untuk penambangan andesit mencapai 145 hektare. Sebagian warga pun menolak rencana penambangan tersebut. Sebab, hal itu dikhawatirkan akan merusak 28 titik sumber mata air warga desa.
Kedua, tindakan represif terkait penolakan tambang di wilayah Kecamatan Kasimbar, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, pada Sabtu (12/2/2022).
Saat sejumlah warga melakukan unjuk rasa menentang Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Trio Kencana di wilayah tersebut, diduga ada seorang warga yang tewas akibat terkena tembakan polisi.
Diduga, korban tewas akibat terkena tembakan aparat saat berusaha membubarkan paksa aksi pemblokiran Jalan Trans Sulawesi di Desa Siney, Kecamatan Tinombo Selatan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.