Implikasi dari penetapan PSN adalah doktriniasi bersifat top down yang mengamanatkan semua pihak harus mengamankan dan mensukseskan pembangunan ini.
Meskipun demikian, masihlah perlu dilihat apakah setiap proyek yang masuk dalam PSN otomatis memiliki urgensi sebagai kepentingan umum yang memiliki konsekuensi dalam aspek pengadaan tanah.
Pengadaan lahan itu menjadi sumber konflik dengan masyarakat yang menggantungkan wilayah hidupnya.
Hasil penelitian yang Penulis lakukan pada 2019 – 2020 terkait konflik agraria dalam infrastruktur, ada 33 kasus yang diterima Komnas HAM, yakni Jawa Barat (8 kasus), Sulawesi Selatan (4 kasus), Sumatera Utara (2 kasus), Papua (1 kasus), Papua Barat (1 kasus).
Kemudian Nusa Tenggara Timur (2 kasus), Maluku (2 kasus), DKI Jakarta (2 kasus), Sulawesi Tenggara (2 kasus), Jawa Tengah (2 kasus) dan satu kasus terjadi di Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Bali, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat dan DI Yogyakarta.
Terdapat tipologi atau pola yang menyebabkan konflik dalam pembangunan infrastruktur, yakni faktor regulasi dan lapangan karena:
Kembali dalam konteks konflik di Wadas – maka melihat pola kekerasan, pengerahan aparat, penegakan hukum dan permintaan masyarakat untuk mengikuti prosesi formal dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum – merupakan cara paling lazim digunakan dengan dalih percepatan pembangunan.
Konflik yang terus terjadi – menunjukan situasi yang sama, bahkan memburuk dibandingkan tahun sebelumnya.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang mencatat adanya lonjakan 123 persen konflik agraria akibat proyek strategis nasional (PSN) infrastruktur, dari 17 kasus menjadi 38 kasus pada 2021.
KPA menilai bahwa akar masalah terjadi karena tanah-tanah yang menjadi target pengadaan tanah untuk kepentingan umum infrastruktur tersebut tumpang tindih dengan tanah dan lahan pertanian masyarakat.
Pada akhirnya proses yang tergesa-gesa, tidak transparan dan partisipatif, abai dalam menghormati dan melindungi hak konstitusional warga terdampak.
Merujuk ketentuan Pasal 23 UU Nomor 2/2012 mengatur apabila terdapat keberatan terhadap penetapan lokasi objek pembangunan untuk kepentingan umum, masyarakat dapat mengajukan gugatan ke PTUN setempat paling lama dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Penetapan Lokasi oleh Gubernur.
Sedangkan PTUN diberikan jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya gugatan untuk memutuskan diterima/ditolaknya gugatan.
Oleh karena itu, maka dalam konteks Bendungan Bener – Gubernur Jawa Tengah memilki peran yang krusial.
Prosedur selanjutnya jika terdapat pihak-pihak yang keberatan terhadap putusan PTUN, maka dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah keluarnya putusan PTUN.