JAKARTA, KOMPAS.com - Polemik ibadah haji di dalam dunia virtual metaverse memicu tanggapan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Permasalahan ini muncul pada 14 Desember 2021. Saat itu Arab Saudi menghadirkan hajar aswad, sebuah batu hitam yang terletak di tenggara Kabah, di dalam metaverse.
Yang dimaksud Metaverse merupakan sebuah ruang virtual yang memanfaatkan teknologi virtual reality (VR) dan augmented reality (AR) yang memungkinkan semua orang untuk berkumpul dan berinteraksi.
Menurut Ketua Presidensi Dua Masjid Suci Sheikh Abdul Rahman al-Sudais, alasan memasukkan Kabah sekaligus hajar aswad ke dalam metaverse adalah sebagai bentuk komunikasi kepada semua orang melalui sarana teknologi terbaru.
Keputusan itu memicu perdebatan umat Islam di media sosial. Beberapa pengguna menyebut teknologi VR ini justru merusak agama.
Baca juga: Soal Kontroversi Haji di Metaverse, Ini Penjelasan MUI
Sementara pengguna media sosial lainnya mempertanyakan kemungkinan berhaji melalui metaverse dengan cara mengelilingi Kabah secara virtual.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) ikut berpendapat mengenai perdebatan ini. Ketua Bidang Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh mengatakan, pelaksanaan ibadah haji dengan mengunjungi Kabah secara virtual dan tidak memenuhi syarat.
Sebab, aktifitas ibadah haji merupakan ibadah mahdlah yang syarat dan rukunnya sudah ditentukan.
"Haji itu merupakan ibadah mahdlah, besifat dogmatik, yang tata cara pelaksanaannya atas dasar apa yang sudah dicontohkan oleh Nabi SAW," kata Niam saat dihubungi Kompas.com, Selasa (8/2/2022).
Niam mengatakan, ada beberapa ritual dalam haji yang membutuhkan kehadiran fisik dan terkait dengan tempat tertentu, seperti thawaf. Tata cara thawaf adalah mengelilingi Kabah sebanyak tujuh kali putaran dimulai dari sudut hajar aswad (secara fisik) dengan posisi Kabah berada di sebelah kiri jemaah.
Baca juga: MUI: Kabah di Metaverse Bisa Dimanfaatkan untuk Persiapan Haji dan Umrah
"Manasik haji dan umrah tidak bisa dilaksanakan dalam hati, dalam angan-angan, atau secara virtual, atau dilaksanakan dengan cara mengelilingi gambar Kabah atau replika Kabah," kata Niam.
Di sisi lain, menurut Niam keberadaan Kabah di dalam platform virtual metaverse bisa dimanfaatkan untuk mengenali lokasi yang dijadikan tempat pelaksanaan ibadah haji.
"Kunjungan ke Kabah secara virtual bisa dioptimalkan untuk explore dan mengenali lebih dekat, dengan 5 dimensi, agar ada pengetahuan yang utuh dan memadai sebelum pelaksanaan ibadah," ujarnya.
"Teknologi yang mendorong pemudahan, tapi pada saat yang sama harus faham, tidak semua aktifitas ibadah bisa digantikan dengan teknologi," tutupnya.
Sedangkan menurut Ustaz Alhafiz Kurniawan dari Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), secara hukum Islam, haji dan umrah dilakukan secara virtual atau dilakukan di metaverse tersebut hukumnya tidak sah.