Sekadar sebagai catatan saja, masalah yang dihadapi ini adalah masalah pelik yang bersinggungannya antara penerbangan sipil komersial dengan penerbangan militer.
Sebenarnya masalah ini sudah diantisipasi sejak tahun 1950-an.
Itu sebabnya pada tahun 1955 sudah dibentuk Dewan Penerbangan seperti yang tertuang dalam peraturan pemerintah N0.5 tahun 1955 dan tercatat dalam Lembaran Negara nomor 7 Tahun 1955 yang ditandatangani oleh presiden, menteri perhubungan, menteri pertahanan dan menteri kehakiman.
Ketika itu Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan belum memiliki Dewan Kelautan, tetapi secara mengagumkan telah memiliki Dewan Penerbangan.
Pada tahun 2003 atas usul saya sebagai KSAU, Indonesia menghentikan secara sepihak perjanjian MTA (Military Ttraining Area) karena menerima laporan terjadinya banyak pelanggaran dan atau kesalah pahaman dalam pelaksanaan di lapangan.
Demikian pula saya mengangkat masalah FIR ini dalam berbagai kesempatan dan kegiatan serta menulis ratusan artikel serta tiga buku.
Dalam perkembangan selanjutnya, maka persoalan ini bergulir dalam berbagai diskusi, seminar dan kegiatan lain yang berhubungan dengan isu keamanan nasional.
Pembahasan semakin intens dan menuju perkembangan yang menggembirakan saat penyusunan UU No 1 tahun 2009 tentang Penerbangan.
Saya bersama teman-teman kalangan penerbangan dan ahli hukum udara berkontribusi aktif dalam proses penyusunan UU tersebut.
Saya sendiri tidak turut hadir di sidang-sidang pembahasan di DPR, tetapi menitipkan materi pemikiran saya melalui almarhum Prof Dr Priyatna Abdurrasjid.
Hasilnya adalah tertera antara lain dalam pasal 458 yang menyebutkan dalam kurun waktu 15 tahun setelah UU ini diundangkan, pendelegasian wilayah udara Indonesia kepada negara lain harus sudah dihentikan.
Hasil menggembirakan berikutnya adalah keluarnya instruksi Presiden pada tanggal 8 September tahun 2015 yang menyebutkan bahwa FIR yang selama ini dikuasai oleh Singapura segera diambil alih.
Presiden mengarahkan agar dilakukan persiapan dalam 3 – 4 tahun kedepan terkait dengan kesiapan kita pada kualitas SDM dan peralatan.
Berikutnya pada 21 Oktober 2019, diselenggarakan Ëxpert Meeting di Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia terkait perkembangan negosiasi pengambilaliihan FIR Singapura.
Turut serta beberapa senior ahli Hukum Laut, Hukum Udara dan Hukum Internasional antara lain, yaitu: Prof. Hasjim Djalal, MA; Prof. Hikmahanto Juwana,SH.LL.M,Ph.D; Dr.Hasan Wirajuda,SH,MALD,LL.M; Prof. Atip.Latipulhayat dan Dr.Supri Abu SH.MH.
Melalui teleconference call turut pula Duta Besar Indonesia untuk Jerman Arif Havas Oegroseno. Saya sendiri turut hadir dalam pertemuan tersebut.
Pada tanggal 27 Nopember 2019, bertempat di Ruang Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung saya menghadiri “Temu Pakar” yang membahas mengenai pengambilalihan FIR Singapura.
Temu Pakar dipimpin Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran yang sudah tidak asing lagi dalam pembahasan-pembahasan tentang FIR Singapura, terutama dalam perspektif “National Security”, Prof Dr Atip Latipulhayat.
Hadir beberapa peserta yang terdiri dari para pakar Hukum Udara dan juga Hukum Laut.