BELAKANGAN ini trending topik di media adalah mengenai masalah Flight Information Region (FIR) yang tiada putus dibahas oleh para pengamat pembahas pejabat dan lain-lain.
Demikian gencarnya pembahasan FIR ini yang kemudian terlihat semakin hari semakin lucu.
Tiba-tiba saja bermunculan para ahli FIR di permukaan dengan sejumlah opini, pemikiran dan ide yang lucu.
Dapat dipastikan tidak akan berlangsung lama, isu tentang FIR akan segera lenyap dari permukaan dan akan muncul lagi nanti setelah ada momentum terkait dengan FIR.
Intinya adalah perhatian kepada masalah prinsip dari FIR terutama kepada masalah penerbangan dan kedirgantaraan masih sangat kurang.
Itu sebabnya, maka kita berhadapan banyak sekali masalah tentang penerbangan dan kedirgantaraan pada umumnya terutama pada masalah pengelolaan wilayah udara nasional.
Tidak ada satu instansi di negeri ini yang mengurus khusus tentang pengelolaan wilayah udara kedaulatan.
Yang mengurus tentang penerbangan dalam arti luas mencakup pada manajemen airlines, airport, wilayah udara, industri penerbangan, satelit, drone dan semua yang berkaitan dengan hal tersebut.
Padahal masalah penerbangan bersifat internasional sekaligus inter-disiplin dan tentu saja inter-departemental. FIR hanya salah satu saja dari demikian banyak isu mengenai kedirgantaraan.
Isu FIR di perairan Natuna dan Kepulauan Riau pertama kali saya ketahui sendiri pada tahun 1974.
Ketika itu sebagai Pilot Angkatan Udara yang masih muda belia, menerbangkan pesawat Dakota untuk dukungan logistik pasukan di daerah perbatasan wilayah selat Malaka.
Pada saat ingin berangkat dari Tanjung Pinang ke Natuna, saya diberitahu bahwa harus memperoleh ijin terbang dari otoritas penerbangan Singapura.
Demikian selanjutnya selama puluhan tahun sebagai Pilot AU dan juga termasuk sebagai Pilot penerbangan sipil komersial lebih dari 3 tahun, saya menjadi familiar untuk terbang di wilayah udara kedaulatan Indonesia di perairan selat Malaka dan Natuna di bawah kekuasaan otoritas penerbangan negara tetangga.
Sebuah mekanisme yang biasa saja sebenarnya. Akan tetapi pada dasarnya sebagai seorang Pilot AU dan kemudian menjabat sebagai Direktur Operasi dan Latihan Angkatan Udara terasa ada yang “menghambat” pelaksanaan tugas Angkatan Udara Republik Indonesia di kawasan tersebut.
Pelaksanaan Operasi dan Latihan AU yang secara universal diketahui sebagai sebuah kegiatan tertutup menjadi sulit untuk dilaksanakan.
Inilah esensi dari mengapa saya mempermasalahkan tentang FIR di perairan selat Malaka dan Kepulauan Riau.
Masalah martabat sebagai anggota Angkatan Udara sebuah bangsa yang besar dalam kegiatan menjalankan tugas negara.
Sangat jauh dari sekedar masalah untung rugi sebagaimana yang berkembang sekarang ini. Sebuah perkembangan dari persepsi atau opini dari sebagian pihak yang “lucu”.
Sebuah persepsi dan atau opini yang sangat berselera rendah karena semata menyoroti dari sisi untung rugi belaka. Ini satu hal.