JAKARTA, KOMPAS.com - Empat belas tahun sudah Indonesia kehilangan sosok presiden kedua, Soeharto.
Ia mengembuskan napas terakhir pada 27 Januari 2008 karena kegagalan multiorgan.
Salah satu yang paling dikenang dari Soeharto ialah kisah cintanya dengan sang istri, Siti Hartinah alias Ibu Tien.
Rupanya, kisah itu berangkat dari perjodohan keluarga Soeharto. Hingga akhir hayatnya, Soeharto masih menunjukkan rasa cintanya yang begitu besar untuk sang istri.
Baca juga: Ketika Soekarno Dibujuk Dua Pengusaha, Serahkan Kekuasaan ke Soeharto
Soeharto menginjak usia 26 tahun ketika bibinya, Prawiro, gelisah karena keponakannya belum juga memiliki istri.
Pria kelahiran Bantul, Yogyakarta, 8 Juni 1921 itu pun langsung menjawab bahwa dia masih ingin melanjutkan perjuangan di militer. Kala itu memang karier Soeharto di militer sedang cemerlang.
Mendengar jawaban Soeharto, sang bibi protes. Menurut dia, pernikahan tidak perlu terhalang oleh perjuangan.
Prawiro lantas menyebutkan sebuah nama untuk dijodohkan dengan Soeharto.
"Kamu masih ingat kepada Siti Hartinah, teman sekelas adikmu, Sulardi, waktu di Wonogiri?" tanya sang bibi seperti dikisahkan pada buku "Falsafah Cinta Sejati Ibu Tien dan Pak Harto".
Soeharto pun mengiyakan. Namun, ia tak yakin Hartinah dan keluarganya mau menerima dia.
"Tetapi bagaimana bisa? Apa dia akan mau? Apa orang tuanya memberikan? Mereka orang ningrat. Ayahnya, Wedana, pegawai Mangkunegaran," jawab Soeharto ragu-ragu.
Keraguan itu langsung ditepis Prawiro. Ia mengatakan mengenal keluarga Hartinah dan akan menjodohkan Soeharto dengan putri dari RM Soemoharjomo dan Raden Ayu Hatmati Hatmohoedojo itu.
Baca juga: Soeharto dan Falsafah Mahabarata di Patung Arjuna Wijaya Jakarta Pusat
Meski sudah mengenal Hartinah sejak SMP, keraguan Soeharto masih juga belum sirna. Soeharto takut lamarannya ditolak.
Sebab, dirinya hanya masyarakat biasa, sementara Hartini berasal dari keluarga bangsawan.
Kala itulah, Soeharto yang biasanya dikenal berwibawa, merasa gamang dan minder.
Namun, semua keraguan Soeharto akhirnya sirna. Rupanya, orang tua Hartinah tak memandang latar belakang Soeharto dan langsung menyetujui lamaran perwira muda itu.
Bahkan, dari banyak lamaran yang diajukan pada Hartinah, hanya Soeharto yang berhasil memikat hati perempuan kelahiran Surakarta, 23 Agustus 1923 itu.
Pernikahan pun dilangsungkan pada 26 Desember 1947 di Solo.
Pernikahan itu disaksikan keluarga dan teman-teman Hartinah. Cukup banyak jumlah tamu dari keluarga Soemoharjono yang datang.
Sementara Soeharto hanya datang bersama sepupunya, Sulardi, dan kakaknya.
Baca juga: Harmoko, Patahnya Palu Sidang MPR, dan Lengsernya Soeharto
Resepsi dilakuan pada malam harinya. Sederhana saja, hanya diterangi lampu dan beberapa lilin yang redup.
Malam pertama Soeharto dan Hartinah pun dibatasi dengan jam malam karena khawatir akan serangan Belanda.
Tak ada bulan madu bagi Soeharto dan Hartinah. Sebab, tiga hari setelah pernikahan, mantan Panglima Kostrad itu harus kembali ke Yogyakarta untuk berdinas.
Dia memboyong sang istri. Mereka pun tinggal di Jalan Merbabu Nomor 2, Yogyakarta.
Seminggu setelah itu, Soeharto harus meninggalkan sang istri karena ditugaskan ke Ambarawa untuk menghadapi serangan Belanda dari Semarang.
Meski berat, Soeharto mau tak mau harus meninggalkan istri tercintanya untuk mengemban tugas negara, bahkan selama tiga bulan.
Sebagai istri prajurit, Ibu Tien harus terbiasa hidup mandiri. Meski jarak kerap memisahkan keduanya, kasih Soeharto kepada istrinya begitu besar.
Hal ini salah satunya terlihat ketika Soeharto tampil membela proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang digagas Tien.
Baca juga: Firasat Harmoko, Tuntutan Reformasi, hingga Mundurnya Soeharto
Sebagaimana diketahui, pembanggunan TMII kala itu banyak diprotes karena dianggap tak bermanfaat dan mubazir.
Setelah sepuh, Soeharto dan Tien sering menghabiskan waktu di TMII hingga maut memisahkan mereka.
Pada 28 April 1996, Ibu Tien meninggal dunia. Soeharto pun larut dalam kesedihan yang mendalam.
Untuk melepas rindu dengan belahan jiwanya, Soeharto kerap meminta anak-anaknya untuk mengantar dia ke TMII.
Baca juga: Soeharto Pernah Minta Muhammadiyah Jadi Partai Politik, tapi Ditolak Ketum
Di sana, Soeharto hanya duduk terdiam dan memegang tongkat jalannya. Itulah momen Soeharto begitu merindukan mendiang istrinya.
"Walau bicaranya sudah tidak jelas, tapi saya bisa mengerti isi perkataan beliau. Pak Harto bilang, 'Saya rindu pada Ibu. Dan setiap saya merindukan Ibu, Taman Mini ini yang membuat kerinduan saya terobati'," kata Bambang Sutanto, mantan pimpinan TMII, menirukan ucapan Soeharto.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.