JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyatakan siap melindungi korban dan saksi terkait kerangkeng manusia di Langkat, Sumatera Utara, tetapi membutuhkan laporan resmi untuk dapat melakukannya.
Sebagai informasi, kerangkeng itu diduga milik Bupati nonaktif Langkat, Terbit Rencana Perangin Angin, di mana sedikitnya 40 pekerja sawit diduga diperbudak dan mengalami penyiksaan.
"LPSK siap melindungi korban atau saksi dalam kasus ini jika ada laporan ke LPSK sesuai peraturan perundangan yang berlaku," ujar Wakil Ketua LPSK, Maneger Nasution, dalam keterangan tertulis pada Selasa (25/1/2022).
"LPSK mendukung kepolisian untuk mengusut tuntas kasus ini. Kita dukung Komnas HAM untuk memeriksa dugaan pelanggaran HAM dalam peristiwa tersebut," jelasnya.
Baca juga: KPK Siap Fasilitasi Polisi dan Komnas HAM Dalami Penemuan Kerangkeng Manusia di Rumah Bupati Langkat
Maneger menyebut, jika pemberitaan tentang dugaan eksploitasi terhadap para pekerja sawit itu betul adanya, maka "tindakan ini merupakan pelanggaran terhadap kemanusiaan".
"Ini merupakan praktik perbudakan modern. Jika hal itu benar, maka kita mengutuk keras perbuatan yang tidak berperikemanusiaan itu, dan meminta agar kepolisian segera mengusut kasus tersebut," kata Maneger.
"Jika benar kerangkeng itu digunakan untuk memenjarakan buruh, perbuatan itu sangat tidak manusiawi dan melanggar undang-undang," tambahnya.
Baca juga: Ramai soal Kerangkeng Manusia di Rumah Bupati Langkat, Apa Ancaman Hukuman Pelaku Perbudakan?
Para pekerja sawit dalam kerangkeng manusia itu disebut bekerja sedikitnya 10 jam setiap harinya.
Setelah dimasukkan ke dalam kerangkeng selepas kerja, mereka tidak memiliki akses untuk ke mana-mana dan hanya diberi makan 2 kali sehari secara tidak layak.
Hal ini telah dilaporkan oleh Migrant Care kepada Komnas HAM pada Senin (24/1/2022).
Baca juga: Kemendagri Dukung Penegak Hukum Usut Dugaan Perbudakan Manusia oleh Bupati Langkat
Komnas HAM selanjutnya segera membentuk tim dan akan melakukan investigasi langsung ke lokasi.
"Mereka tentu tidak punya akses komunikasi dengan pihak luar. Mereka mengalami penyiksaan: dipukul, lebam, dan luka. Selama bekerja mereka tidak pernah menerima gaji," ungkap Ketua Migrant Care, Anis Hidayah, Senin.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.