Serial Hari Ibu
SETIAP 22 Desember, mendadak sontak lini masa penuh dengan ungkapan-ungkapan penghormatan, pujian, kenangan, dan unjuk kasih bagi para ibu. Tanggal ini dikenal sebagai peringatan Hari Ibu.
Namun, dari banyak hiruk-pikuk ungkapan itu, rasanya teramat sedikit yang membangkitkan ulang semangat awal di balik penetapan 22 Desember sebagai Hari Ibu itu sendiri. Semoga ini skimming yang keliru.
Baca juga: Ucapan Selamat Hari Ibu 22 Desember, Gambar, dan Twibbon Hari Ibu 2021
Tentu, tidak ada yang salah juga dari yang selama ini hiruk pikuk dalam perayaan Hari Ibu ini. Bagaimana pun, ibu adalah sosok yang memang mutlak mendapat penghormatan luar biasa, tak hanya dari anak yang dilahirkannya tapi juga dari semua orang yang mengaku manusia biasa.
Peringatan Hari Ibu ditetapkan pada 22 Desember di tiap tahunnya antara lain merujuk pada Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959. Ini pun bukan spesifik berisi tentang penetapan Hari Ibu, bahkan bukan khusus tentang hari ibu.
Salinan keputusan tersebut dalam versi perbaikan—penomoran dan penulisan—bisa dilihat di bawah ini:
Awal mula 22 Desember ditetapkan menjadi Hari Ibu adalah dari Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta. Tanggal pembukaan kongres, yaitu pada 22 Desember 1928, menjadi landasan. Adapun penetapannya sendiri sebenarnya sudah dimulai pada 1935.
Baca juga: Sejak Kapan Ada Hari Ibu dan Bagaimana Sejarahnya?
Peserta kongres adalah para perempuan yang mewakili organisasi-organisasi perempuan pada saat itu serta perempuan perorangan yang memiliki semangat dan pandangan yang sama soal pemberdayaan perempuan.
Tidak salah mengungkapkan penghormatan dan kasih kepada para ibu di setiap peringatan Hari Ibu. Namun, merujuk pada peristiwa yang melatari penetapan Hari Ibu, makna yang terkandung dalam hari peringatan ini jauh lebih luas lagi.
Kongres Perempuan bukan semata para ibu kumpul-kumpul dan saling curhat. Ini adalah aktualisasi tak terbantahkan dari para perempuan Indonesia untuk berdiri sejajar dengan para laki-laki dalam kerangka pergerakan dan kebermanfaatan diri. Fakta dan jejak sejarah pergerakan perempuan di Bumi Pertiwi.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memberikan dua arti untuk kata pergerakan dari kata dasar gerak, yaitu:
Dalam konteks tulisan ini, arti kedua yang diberikan KBBI sudah cukup mewakili, seharusnya.
Hasil dari Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta tersebut adalah kelahiran Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPI). Inilah pergerakan perempuan Indonesia yang pada kongresnya untuk kali pertama menyanyikan Indonesia Raya dan menggunakan bahasa Indonesia.
Baca juga: Kesetaraan, PR Hari Ibu dari Masa ke Masa dengan 3 Contoh Kasus
Salah satu pelaku panitia Kongres Perempuan Indonesia I, Ibu Kartowiyono—yang sebelum menikah bernama Soeyatin—, bertutur bagaimana dia sampai menggebrak meja ketika di pengujung kongres ada yang mengusulkan penggunaan kata "istri" untuk menggantikan kata "perempuan" dalam nama perkumpulan hasil kongres.
Alasan pengusul, kata "istri" terdengar lebih halus dibanding kata "perempuan".
"Janganlah nama yang sudah masak-masak ditentukan diganti seperti kita mengganti baju saja," kata Soeyatin saat itu, seperti yang dia tuturkan dan kemudian dimuat harian Kompas edisi 19 Desember 1974.
Dalam dialektika pergerakan perempuan, jangankan kata "istri", penyebutan kata "wanita" pun rentan ditangkap sebagai bias gender. Terlebih lagi ketika itu dikaitkan dengan etimologi Jawa, yang memberikan kepanjangan kata "wanita" sebagai "wani ditata" alias bisa ditata atau bisa diatur.
Sebaliknya, kata perempuan dinilai lebih tepat digunakan karena kandungan maknanya yang berakar dari struktur dalam bahasa sanskerta, yaitu "per+empu+an". Per memiliki arti makhluk, sementara empu berarti mulia, tuan, atau mahir. Ini menempatkan perempuan sebagai makhluk yang memiliki kemuliaan atau kemampuan.
Baca juga: Sri Mulyani: Negara yang Dipimpin Perempuan Kondisinya Lebih Baik Saat Covid-19
Namun, bahasa memang punya jalan cerita tersendiri. Ketika makna-makna mendalam tak lagi jadi hal penting di era serba instan, makin jauh saja kerap kali pemaknaan dan rasa bahasa bahkan dalam kamus yang menjadi rujukan berbahasa.
Kilah klasiknya, bahasa adalah hasil dari kebiasaan penggunaan di masyarakat. Sebuah kilah yang sekaligus seharusnya menjadi cermin bagi diri kita sendiri sebagai makhluk berbahasa. Tentu, budaya masyarakat juga menjadi faktor yang tak bisa dinegasikan dan harus diakui berdampak pada praktik-praktik berbahasa apalagi dalam tataran pemaknaan.
Kembali ke kisah di balik peringatan Hari Ibu, pergerakan perempuan sebelum kemerdekaan adalah menyuarakan kehendak perempuan untuk dapat bersama para pemuda dan laki-laki memperjuangkan kemerdekaan.
Bersamaan, mereka juga telah menyuarakan tuntutan persamaan, termasuk untuk belajar, berkarya, dan mendapatkan penghasilan setara laki-laki dalam bidang yang sama.
Kemerdekaan sudah terwujud, setidaknya dengan terjadinya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Namun, apakah cita-cita kemerdekaan sudah sepenuhnya mewujud pada hari ini? Apakah juga kesetaraan perempuan yang perjuangannya tiap tahun diperingati dalam nama Hari Ibu sudah sepenuhnya terlaksana?
Baca juga: Sri Mulyani: Dampak Pandemi Lebih Besar Menghantam Perempuan
Dari waktu ke waktu, aneka fakta, fenomena, dan dialektika soal perempuan dalam kehidupan sosial dan kenyataan terus bermunculan. Perdebatannya tidak jauh-jauh dari urusan kodrati sebagai manusia yang bisa hamil dan melahirkan berhadapan dengan isu-isu pendidikan dan aktualisasi diri.
Situasi ini bukanlah barang baru. Dari masa ke masa selalu muncul. Bukan tidak ada solusi. Namun, solusi pun sering diperdebatkan lagi.
Misal, soal perlu atau tidaknya perempuan sekolah tinggi. Ada saja yang bilang buat apa perempuan sekolah kalau ujungnya jadi istri dan ibu rumah tangga yang "hanya" beraktivitas di ranah domestik, yang sering dibilang sebagai urusan dapur, kasur, dan sumur.
Padahal, perempuan mengenyam pendidikan tinggi dan terus belajar bukan berarti hidupnya akan diabdikan untuk karier.
Karena, hanya perempuan berwawasan yang pada akhirnya akan berpeluang lebih besar mampu mendidik generasi baru paling canggih sejak dini, bukan institusi sekolah. Tentu, ini juga tidak berarti perempuan saja yang jadi dibebani amanat mendidik manusia-manusia baru bernama anak.
Dalam kenyataan kekinian, perempuan-perempuan yang benar-benar melek literasi jugalah—tidak semata punya ijazah sekolah—yang cenderung lebih mampu menjaga bahtera rumah tangga dari belitan utang dan persoalan-persoalan sosial karena kekurangan wawasan.
Baca juga: Pesan Sri Mulyani di Hari Ibu: Perbanyak Peran Perempuan Saat Ambil Keputusan
Momentum Hari Ibu adalah waktunya bagi kita semua bersama-sama bercermin. Enggak hanya yang perempuan tetapi laki-laki juga. Jangan jadi kebiasaan memilih dan memilah hal-hal yang cocok dan pas dengan mau kita sendiri saja, salah satunya, termasuk soal menempatkan dan memperlakukan perempuan.
Mari bercermin dan menapaki ulang perjalanan manusia dari masa-ke masa, untuk mendapati makna yang tak sekadar kata-kata pemujaan pada hari peringatan tapi lalu terlupa menjaga makna apalagi menerakannya dalam keseharian. Selamat Hari Ibu!
Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI
Catatan:
Arsip Kompas yang dirujuk dalam artikel ini dapat diakses publik melalui layanan Kompas Data di link ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.