"Janganlah nama yang sudah masak-masak ditentukan diganti seperti kita mengganti baju saja," kata Soeyatin saat itu, seperti yang dia tuturkan dan kemudian dimuat harian Kompas edisi 19 Desember 1974.
Dalam dialektika pergerakan perempuan, jangankan kata "istri", penyebutan kata "wanita" pun rentan ditangkap sebagai bias gender. Terlebih lagi ketika itu dikaitkan dengan etimologi Jawa, yang memberikan kepanjangan kata "wanita" sebagai "wani ditata" alias bisa ditata atau bisa diatur.
Sebaliknya, kata perempuan dinilai lebih tepat digunakan karena kandungan maknanya yang berakar dari struktur dalam bahasa sanskerta, yaitu "per+empu+an". Per memiliki arti makhluk, sementara empu berarti mulia, tuan, atau mahir. Ini menempatkan perempuan sebagai makhluk yang memiliki kemuliaan atau kemampuan.
Baca juga: Sri Mulyani: Negara yang Dipimpin Perempuan Kondisinya Lebih Baik Saat Covid-19
Namun, bahasa memang punya jalan cerita tersendiri. Ketika makna-makna mendalam tak lagi jadi hal penting di era serba instan, makin jauh saja kerap kali pemaknaan dan rasa bahasa bahkan dalam kamus yang menjadi rujukan berbahasa.
Kilah klasiknya, bahasa adalah hasil dari kebiasaan penggunaan di masyarakat. Sebuah kilah yang sekaligus seharusnya menjadi cermin bagi diri kita sendiri sebagai makhluk berbahasa. Tentu, budaya masyarakat juga menjadi faktor yang tak bisa dinegasikan dan harus diakui berdampak pada praktik-praktik berbahasa apalagi dalam tataran pemaknaan.
Kembali ke kisah di balik peringatan Hari Ibu, pergerakan perempuan sebelum kemerdekaan adalah menyuarakan kehendak perempuan untuk dapat bersama para pemuda dan laki-laki memperjuangkan kemerdekaan.
Bersamaan, mereka juga telah menyuarakan tuntutan persamaan, termasuk untuk belajar, berkarya, dan mendapatkan penghasilan setara laki-laki dalam bidang yang sama.
Kemerdekaan sudah terwujud, setidaknya dengan terjadinya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Namun, apakah cita-cita kemerdekaan sudah sepenuhnya mewujud pada hari ini? Apakah juga kesetaraan perempuan yang perjuangannya tiap tahun diperingati dalam nama Hari Ibu sudah sepenuhnya terlaksana?
Baca juga: Sri Mulyani: Dampak Pandemi Lebih Besar Menghantam Perempuan
Dari waktu ke waktu, aneka fakta, fenomena, dan dialektika soal perempuan dalam kehidupan sosial dan kenyataan terus bermunculan. Perdebatannya tidak jauh-jauh dari urusan kodrati sebagai manusia yang bisa hamil dan melahirkan berhadapan dengan isu-isu pendidikan dan aktualisasi diri.
Situasi ini bukanlah barang baru. Dari masa ke masa selalu muncul. Bukan tidak ada solusi. Namun, solusi pun sering diperdebatkan lagi.
Misal, soal perlu atau tidaknya perempuan sekolah tinggi. Ada saja yang bilang buat apa perempuan sekolah kalau ujungnya jadi istri dan ibu rumah tangga yang "hanya" beraktivitas di ranah domestik, yang sering dibilang sebagai urusan dapur, kasur, dan sumur.
Padahal, perempuan mengenyam pendidikan tinggi dan terus belajar bukan berarti hidupnya akan diabdikan untuk karier.
Karena, hanya perempuan berwawasan yang pada akhirnya akan berpeluang lebih besar mampu mendidik generasi baru paling canggih sejak dini, bukan institusi sekolah. Tentu, ini juga tidak berarti perempuan saja yang jadi dibebani amanat mendidik manusia-manusia baru bernama anak.
Dalam kenyataan kekinian, perempuan-perempuan yang benar-benar melek literasi jugalah—tidak semata punya ijazah sekolah—yang cenderung lebih mampu menjaga bahtera rumah tangga dari belitan utang dan persoalan-persoalan sosial karena kekurangan wawasan.
Baca juga: Pesan Sri Mulyani di Hari Ibu: Perbanyak Peran Perempuan Saat Ambil Keputusan