JAKARTA, KOMPAS.com - Presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden kembali diperbincangkan menjelang tahun politik 2024.
Partai politik di parlemen terbelah soal sikap terhadap presidential threshold (PT) sebesar 20 persen yang hingga kini menjadi pedoman, tertuang dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 222.
Pasal itu menyatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Menyikapi UU tersebut, ada partai politik yang bersikukuh tetap mendukung presidential threshold 20 persen. Ada pula partai yang menginginkan ambang batas diturunkan atau bahkan dihapuskan menjadi 0 persen.
Baca juga: Demokrat Tanggapi Kritik soal Sikap Inkonsisten tentang Presidential Threshold: Politik Itu Dinamis
Catatan Kompas.com, berikut sikap partai politik di parlemen saat ini terkait wacana presidential threshold 0 persen
Golkar
Partai Golkar melalui Wakil Ketua Umum Nurul Arifin menyatakan tetap berpegang pada presidential threshold 20 persen.
Ia berpandangan, ketentuan soal ambang batas pencalonan presiden dalam UU Pemilu perlu dipertahankan.
Dia juga menuturkan, partainya berpendapat bahwa presidential threshold yang berlaku saat ini sudah cukup memenuhi pertimbangan rasio politik.
"Saya kira ini tetap harus dipertahankan, masalah angka kalau sekarang mengikuti 25 persen perolehan suara dan 20 persen kursi di parlemen saya kira sudah cukup," kata Nurul saat dihubungi Kompas.com, Rabu (15/12/2021).
Baca juga: Dulu Golkan Angka 20 Persen Demi SBY, Kini Demokrat Minta Presidential Threshold 0 Persen
Ia pun berpendapat, presidential threshold tidak berarti mengamputasi dan mengeliminasi tugas partai politik karena partai politik tetap menjalankan fungsinya untuk kaderisasi dan menyampaikan aspirasi.
Sikap Golkar ini konsisten sebab di pemilu sebelumnya, mereka jg mendukung PT 0 persen.
Sekretaris Jenderal Golkar pada 2017 Idrus Marham menegaskan, itu untuk menjamin penguatan sistem presidensial di Indonesia.
"Nah ke depan ini ketiga kalinya ini yang kami lakukan jadi tidak ada masalah. Sehingga, saya kira ini yang kami dorong bersama. Kepentingan kami di sini adalah kepentingan bangsa. Kepentingan kami disini adalah bagaiamana kepentingan menguatkan presidential," kata Idrus, Rabu (21/6/2017).
Gerindra
Partai Gerindra yang juga merupakan partai koalisi pemerintahan Jokowi-Ma'ruf berpandangan yang sama dengan Golkar.
Gerindra menyatakan siap dengan ketentuan presidential threshold 20 persen saat ini. Hal itu disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani.
"Kalau nanti ada kesepakatan baru, Gerindra siap. Prinsip Gerindra terbuka untuk membicarakan ini, kalau 20 persen siap," ungkap Muzani di Hotel Grand Sahid Jaya, Jumat (17/12/2021).
Baca juga: Pasal Presidential Threshold: Berkali-kali Digugat, Berulang Kali Ditolak MK
Pada Pemilu 2019 pun mereka bersikap yang sama yaitu siap jika PT 0 persen, namun terbuka jika di angka 20 persen.
Hanya saja, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto pernah menyatakan bahwa PT adalah penipuan bagi rakyat.
"Presidential threshold 20 persen, menurut kami, adalah lelucon politik yang menipu rakyat Indonesia," ujar Prabowo usai bertemu Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di kediaman SBY, Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Kamis (27/7/2017) malam.
Prabowo mengatakan bahwa pemilu merupakan hal yang penting untuk mengukur kualitas demokrasi suatu negara.
Baca juga: Apa Itu Presidential Threshold yang Digugat Gatot Nurmantyo ke MK
Oleh karena itu, Prabowo melanjutkan, Fraksi Partai Gerindra tidak ingin terlibat dalam pengesahan UU Pemilu yang bisa merusak demokrasi itu sendiri, terutama ketentuan ambang batas pilpres.
"Kita tidak mau ikut bertanggung jawab, tidak mau ditertawakan sejarah. Silakan berkuasa hingga 10 tahun, 20 tahun, namun di ujungnya sejarah yang menilai," ujar Prabowo.
"Gerindra tidak mau ikut melawan sesuatu di luar akal sehat dan logika," kata mantan Danjen Kopassus itu.
Nasdem
Sesama partai koalisi pemerintah di parlemen, Partai Nasdem juga menegaskan pihaknya menyepakati untuk tidak melakukan revisi UU Pemilu guna mengakomodasi wacana diturunkannya presidential threshold sebesar 0 persen.
Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa. Oleh karenanya, hingga kini aturan mengenai presidential threshold tetap 20 persen sesuai UU Pemilu yang berlaku.
"Enggak ada ruang mengubah 0 persen, dari 20 ke 0 persen itu enggak ada itu," kata Saan saat ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (16/12/2021).
Baca juga: UU Pemilu Tak Akan Direvisi untuk Wacana Presidential Threshold, Puan Minta Keputusan DPR Dihormati
Di pemilu sebelumnya pun Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh menilai perlu adanya ambang batas pencalonan presiden.
Menurutnya, PT tetap diperlukan meski pemilu legislatif dan pemilu presiden berlangsung serentak.
"Lucu sekali kita. Terlalu sombong bebaskan PT itu. Jadi kalau ada nasib baik. Entah siapa dia jadi presiden, dia dapat pengawalan berdasarkan protokoler baru, kemudian kita bingung, siapa dia," kata Paloh saat ditemui di Kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Nasdem, Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (2/5/2017).
PPP
Berikutnya, partai koalisi pemerintah di parlemen yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga menegaskan sikap serupa.
Sekretaris Fraksi PPP DPR Achmad Baidowi mengatakan bahwa di DPR sejauh ini belum ada rencana untuk melakukan revisi UU Pemilu.
Hal itu menjadikan ketentuan UU Pemilu tetap berlaku, termasuk ketentuan mengenai PT 20 persen.
"Ketentuan UU Pemilu tetap berlaku, sepanjang menyangkut pasal-pasal yang tidak dibatalkan oleh MK," ungkapnya.
Selain itu, Awiek mengatakan bahwa adanya presidential threshold merupakan bentuk insentif atau penghargaan kepada partai politik yang sudah berjuang dalam Pemilu.
Kemudian, presidential threshold 20 persen juga bertujuan agar nantinya presiden terpilih tetap mendapatkan dukungan di parlemen dalam berbagai kebijakan.
Ketua Umum PPP Rommahurmuziy juga pada 2017 menganggap presidential threshold 0 persen sebuah lelucon dan tak ada jaminan penghematan biaya pemilu.
"Tentu menjadi lelucon, meminjam bahasa akhir-akhir ini, kalau threshold parlemen dinaikkan, justru presiden threshold ditiadakan. Menjadi lebih lelucon kalau 2019 kita miliki 12 calon presiden," kata Romy dalam keterangan tertulis, Minggu (30/7/2017) dikutip Tribunnews.com.
PAN
Berbeda dengan partai koalisi lainnya, Partai Amanat Nasional (PAN) justru memiliki sikap mendukung wacana presidential threshold 0 persen.
Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi mengatakan, partainya mendukung langkah sejumlah pihak yang mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menghapuskan ambang batas pencalonan presiden.
Baca juga: Presidential Threshold Memperkuat Sistem Pemerintahan di Indonesia
"Sikap PAN sudah jelas, presidential threshold 0 persen," kata Yoga saat dihubungi, Rabu (15/12/2021).
Sementara jelang Pemilu 2019, Fraksi PAN DPR memunculkan opsi jalan tengah karena PT 0 persen tidak diakomodir dalam pembahasan.
"Jika tidak 0 persen atau 20 persen, mungkin bisa di angka 10 persen," ujar Sekretaris Fraksi PAN Yandri Susanto pada saat itu, Kamis (20/7/2017).
PKB
Partai koalisi pemerintah selanjutnya, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memiliki sikap agar presidential threshold 20 persen diturunkan.
Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar mengungkapkan, partainya sejak lama ingin ambang batas itu diturunkan dari angka 20 persen.
"Itu cita-cita PKB sejak awal, cita-cita kita itu tapi belum terlaksana karena enggak ada pembahasan undang-undang, cita-cita kita presidential threshold ya 5 persen, maksimal 10 persen," kata Muhaimin di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (15/12/2021).
Menurut Muhaimin, angka tersebut perlu diturunkan demi membuka ruang bagi banyak pihak untuk berkompetisi dalam pemilihan presiden.
Sementara itu, jelang Pemilu 2019, PKB mengusulkan ambang batas pencalonan presiden sebesar 5 persen.
Usulan itu juga merupakan salah satu strategi agar bisa mengusung calon sendiri di pemilu 2019.
Pasalnya, menurut Wakil Ketua Umum PKB pada 2017 Lukman Edy, jika menggunakan besaran 20 persen, maka PKB tentu akan kesulitan dalam mengusung calon dari internal partai.
Demokrat
Sebagai oposisi, Demokrat menyatakan dukungannya untuk penghapusan presidential threshold.
Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Hinca Panjaitan beranggapan bahwa rezim Joko Widodo seharusnya ambil inisiatif untuk menghapus ketentuan tersebut.
Baca juga: Apa yang Terjadi jika Presidential Threshold 20 Persen Dihapus?
Ia mengaku penghapusan presidential threshold telah diperjuangkan Demokrat sejak Pilpres 2019.
"Saya membaca suasana ini keinginan bersama, termasuk raja-raja Nusantara, tokoh-tokoh, anak-anak muda, tidak bisa dihentikan ini," kata Hinca kepada wartawan di Kompleks DPR RI, Kamis (16/12/2021).
"Saya kira berdemokrasi dan pesta demokrasi di 2024 dengan pasangan yang lebih banyak menjadi kebutuhan, harapan, keinginan semua kita. Saya kira pemerintah yang sedang berkuasa harus mendengarkan itu," jelasnya.
Memang di Pemilu 2019, Demokrat meminta PT diturunkan jadi 0 persen.
Saat itu, Demokrat berpandangan bahwa ambang batas pencalonan presiden tidak sesuai diterapkan dalam Pemilu serentak 2019.
Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat saat itu Agus Hermanto menjelaskan, jika pelaksanaan pemilu dilakukan secara serentak, maka tidak mungkin menggunakan perolehan suara parlemen sebagai dasar mengusung calon presiden.
Baca juga: Partai Buruh Ingin Calonkan Presiden pada 2024, Berharap Presidential Threshold Dihapus
Tapi perlu diingat bahwa Demokrat merupakan pembuat PT 20 persen di Pemilu 2014
"Tahun 2004 Undang-undang Pilpres menekankan hanya 10 persen untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Sekiranya tahun 2004 itu 20 persen, maka tidak ada dalam sejarah Indonesia presiden yang namanya Susilo Bambang Yudhoyono," ujar Yusril Ihza Mahendra saat berdialog dengan hakim konstitusi di MK.
Yusril mengatakan, saat itu Demokrat hanya mendapatkan 7,4 persen suara. Kemudian, Demokrat berkoalisi dengan Partai Bulan Bintang yang mendapat perolehan 3,1 persen.
Dua partai itu kemudian mengusung SBY berpasangan dengan JK menjadi calon presiden dan wakil presiden 2004-2009.
"Ketika mereka sudah berkuasa, mereka lupa mereka yang naikkan threshold itu menjadi 20 persen. Itu terjadi ketika Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla jadi presiden. Ada kepentingan apa mereka menaikkan itu 10 persen menjadi 20 persen," kata Yusril yang saat itu menjabat Ketua Dewan Syuro PBB.
PKS
Sementara itu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) masih berusaha menurunkan ambang batas pencalonan presiden dari angka 20 persen.
Hal tersebut disampaikan Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera.
Baca juga: Menyoal Presidential Threshold 20 Persen, Digugat karena Dinilai Batasi Demokrasi
Partainya, kata Mardani, mendukung adanya usulan presidential threshold nol persen demi membuka kontestasi yang adil dan memberi kesempatan bagi semua pihak untuk mencalonkan diri sebagai presiden.
"(Presidential threshold 20 persen) ini membatasi arena kontestasi dan melimitasi peluang wujudnya kontestasi karya dan gagasan," ujar anggota Komisi II DPR tersebut.
Pada awal 2017, PKS sempat menyatakan tidak setuju jika ambang batas pencalonan presiden diberlakukan 0 persen.
PKS melalui Presidennya saat itu, Sohibul Iman membandingkan dengan pemilihan kepala daerah.
Sohibul mengungkapkan, pemilihan kepala daerah saja sistem ambang batas diberlakukan. Ambang batas itu diberlakukan dengan tujuan menyaring kader yang layak maju menjadi pemimpin.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.