Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

MA Tolak PK Eks Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq, Tetap Jalani Penjara 18 Tahun

Kompas.com - 16/11/2021, 10:32 WIB
Irfan Kamil,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.comMahkamah Agung (MA) menolak permohonan peninjauan kembali (PK) mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq.

Lutfhi merupakan terpidana kasus suap terkait pengurusan kuota impor sapi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

"Tolak," demikian amar putusan PK yang dikutip Kompas.com dari situs MA, Selasa (16/11/2021).

Adapun penolakan itu temuat dengan nomor register 285/PK/Pid.Sus/2021 di Pengadilan Jakarta Pusat.

Baca juga: KPK Akan Lelang Tanah dan Rumah Milik Luthfi Hasan Ishaq dan Ahmad Fathanah

Sebelumnya, Luthfi mengajukan PK atas vonis 18 tahun penjara yang dijatuhkan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi.

"Setelah menjalani 7 tahun pidana, pemohon menemukan alasan-alasan agar majelis Peninjauan Kembali menjatuhkan putusan bebas atau ringan kepada pemohon dengan alasan kekeliruan dan kekhilafan hakim," kata kuasa hukum Luthfi Hasan, Sugiyono, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (16/12/2020), dikutip dari Antara.

Dalam permohonan PK tersebut, Luthfi membandingkan kasusnya dengan putusan PK mantan Ketua DPD Irman Gusman, putusan kasasi mantan Menteri Sosial Idrus Marham, dan putusan kasasi dirinya.

Sugiyono mengatakan, tiga perkara tersebut menghasilkan putusan yang berbeda sedangkan ketiganya sama-sama didakwa menerima sesuatu sebagai penyelenggara negara dengan pertimbangan tidak terkait dengan kewenangannya.

Baca juga: Hak Politiknya Dicabut, Luthfi Hasan Merasa Masih Bisa Jadi King Maker

Seperti diketahui, Idrus dinyatakan bersalah dalam kasus suap terkait proyek PLTU Riau-1 dan Irman divonis bersalah dalam kasus suap terkait kuota impor di Perum Bulog.

"Dalam pertimbangannya, hakim mengatakan perbuatan Idrus dan Irman tidak terkait dengan ruang lingkup kewenangannya yang berakibat Idrus dan Irman tidak terbukti menerima suap tapi menerima gratifikasi sehingga putusan majelis kasasi terhadap pemohon tidak adil dan pemohon mengajukan PK," ujar Sugiyono.

Sugiyono pun menilai ada kekeliruan mendasar hakim kasasi terhadap Luthfi yakni pasal dasar putusan yaitu Pasal 12 huruf a UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"Kekeliruan mempertemukan fakta dan hukumnya ketika majelis hakim pemohon menyatakan terbukti pasal 12 padahal seharusnya yang diterapkan ketentuan pasal 11 sebagaimana majelis PK Irman Gusman dan majelis kasasi Idrus Marham dan majelis PK pemohon harus membatalkan putusan terdahulu," kata Sugiyono.

Baca juga: FOTO: Rumah Senilai Rp 2,965 Miliar Milik Luthfi Hasan Dilelang

Sementara itu, terkait TPPU, Sugiyono menilai perbuatan pencuian uang yang didalikan tidak sesuai dengan penerapan UU TPPU.

"Pemohon menilai pertimbangan hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi tidak memenuhi unsur tempus delicti tindak pidana asal sehingga hanya menjadi dugaan saja," kata Sugiyono.

Diketahui, dalam putusan kasasi, MA memperberat hukuman Luthfi dari 16 tahun penjara menjadi 18 tahun penjara.

Putusan kasasi itu dijatuhkan pada Senin (15/9/2014) dengan ketua majelis kasasi yang juga Ketua Kamar Pidana MA Artidjo Alkostar, dengan anggota majelis Hakim Agung M Askin dan MS Lumme.

Baca juga: Hukumannya Diperberat MA, Luthfi Hasan Bilang Semua Bisa Diatur

Selaku anggota DPR, Luthfi terbukti melakukan hubungan transaksional dengan mempergunakan kekuasaan elektoral demi imbalan atau fee dari pengusaha daging sapi.

Ia juga terbukti menerima janji pemberian uang senilai Rp 40 miliar dari PT Indoguna Utama dan sebagian di antaranya, yaitu senilai Rp 1,3 miliar, telah diterima melalui Ahmad Fathanah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ajakan Kerja Sama Prabowo Disebut Buat Membangun Kesepahaman

Ajakan Kerja Sama Prabowo Disebut Buat Membangun Kesepahaman

Nasional
Kubu Prabowo Ungkap Dirangkul Tak Berarti Masuk Kabinet

Kubu Prabowo Ungkap Dirangkul Tak Berarti Masuk Kabinet

Nasional
Pusat Penerbangan TNI AL Akan Pindahkan 6 Pesawat ke Tanjung Pinang, Termasuk Heli Anti-kapal Selam

Pusat Penerbangan TNI AL Akan Pindahkan 6 Pesawat ke Tanjung Pinang, Termasuk Heli Anti-kapal Selam

Nasional
Duet Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim Baru Disetujui Demokrat, Gerindra-Golkar-PAN Belum

Duet Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim Baru Disetujui Demokrat, Gerindra-Golkar-PAN Belum

Nasional
Panglima TNI Kunjungi Markas Pasukan Khusus AD Australia di Perth

Panglima TNI Kunjungi Markas Pasukan Khusus AD Australia di Perth

Nasional
Spesifikasi Rudal Exocet MM40 dan C-802 yang Ditembakkan TNI AL saat Latihan di Bali

Spesifikasi Rudal Exocet MM40 dan C-802 yang Ditembakkan TNI AL saat Latihan di Bali

Nasional
Dubes Palestina Yakin Dukungan Indonesia Tak Berubah Saat Prabowo Dilantik Jadi Presiden

Dubes Palestina Yakin Dukungan Indonesia Tak Berubah Saat Prabowo Dilantik Jadi Presiden

Nasional
Gambarkan Kondisi Terkini Gaza, Dubes Palestina: Hancur Lebur karena Israel

Gambarkan Kondisi Terkini Gaza, Dubes Palestina: Hancur Lebur karena Israel

Nasional
Ada Isu Kemensos Digabung KemenPPPA, Khofifah Menolak: Urusan Perempuan-Anak Tidak Sederhana

Ada Isu Kemensos Digabung KemenPPPA, Khofifah Menolak: Urusan Perempuan-Anak Tidak Sederhana

Nasional
DPR Disebut Dapat KIP Kuliah, Anggota Komisi X: Itu Hanya Metode Distribusi

DPR Disebut Dapat KIP Kuliah, Anggota Komisi X: Itu Hanya Metode Distribusi

Nasional
Komisi II DPR Sebut Penambahan Kementerian Perlu Revisi UU Kementerian Negara

Komisi II DPR Sebut Penambahan Kementerian Perlu Revisi UU Kementerian Negara

Nasional
Pengamat Dorong Skema Audit BPK Dievaluasi, Cegah Jual Beli Status WTP

Pengamat Dorong Skema Audit BPK Dievaluasi, Cegah Jual Beli Status WTP

Nasional
Maju Nonpartai, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Wali Kota dan Bupati Independen?

Maju Nonpartai, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Wali Kota dan Bupati Independen?

Nasional
Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Minim Pengawasan

Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Minim Pengawasan

Nasional
DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu hingga Mei

DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu hingga Mei

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com