Kini, ketika grafik pertumbuhan Covid-19 cenderung melandai, momentum untuk mentransformasi dan mengaktifkan kembali sektor parekraf ada di depan mata.
Salah satu langkah transfomasi yang diambil adalah dengan mengembangkan pariwisata kualitas (quality tourism) daripada pariwisata kuantitas (quantity tourism).
Secara akademis quality tourism memiliki dua indikator utama. Pertama, wisatawan yang menjadi target market adalah wisatawan yang memiliki daya beli tinggi. Ini terkait dengan besarnya spending per hari dan length of stay.
Untuk itu pelaku wisata perlu meningkatkan kualitas wisata dalam hal kenyamanan dan keamanan destinasi wisata.
Pemerintah dapat menunjang dengan menerapkan sertifikasi CHSE kepada pelaku usaha pariwisata.
Sementara, pelaku industri wisata perlu mengembangkan strategi promosi dan pemasaran yang kuat untuk menyasar wisatawan berdaya beli tinggi.
Kedua, wisatawan yang peduli pada keberlanjutan, peduli pada kelestarian lingkungan hidup, peduli dengan masyarakat dan budaya lokal.
Berkenaan dengan ini, pemerintah perlu lebih gencar mendorong masyarakat untuk mengembangkan desa wisata.
Masyaraka desa dapat mengembangkan potensi alam desa, budaya desa, termasuk melakukan penguatan atraksi berbasis narasi (storynomic tourism).
Namun, pemerintah juga perlu tetap fokus melanjutkan pembangunan fasilitas di seluruh destinasi wisata prioritas seperti wisata Danau Toba, Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, dan Likupang.
Pemerintah juga memfasilitasi upaya promosi wisata yang difokuskan pada low hanging fruit atau tujuan wisata yang sudah siap seperti Bali, Yogyakarta, Bandung, Jakarta, dan Bintan guna menyukseskan program travel bubble.
Selain itu, pemerintah berkolaborasi dengan para pelaku sektor parekraf untuk semakin giat mengembangkan aspek atraksi, aksesibilitas, dan amenitas untuk dapat menarik wisatawan domestik maupun internasional.
Untuk mendukung proses transfomasi tersebut pemerintah mengalokasi Rp14,4 triliun dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 untuk sektor parekraf.
Kunci utama bagi pelaku pariwisata dan ekonomi kreatif agar dapat bertahan di tengah pandemi adalah memiliki kemampuan untuk beradaptasi, berinovasi, dan kolaborasi yang baik.
Pasalnya, saat ini prilaku masyarakat mulai berubah, dan dibarengi dengan tren kemajuan teknologi informasi terutama penggunaan media sosial dalam berwisata.