Saat KPK tengah menuntaskan kasus jual beli jabatan yang menjerat suami istri itu, diketahui anak Hasan Aminudin dari istri pertama tengah bersiap untuk berlaga di Pilkada serentak 2024.
Baik Hasan dan istrinya Puput adalah kader Nasdem. Akan menjadi pertanyaan besar jika Nasdem tetap ngotot mengusung trah Hasan Aminuddin di Pilkada mendatang.
Politik dinasti tentu berpengaruh bagi demokrasi. Check and balance menjadi sulit terjadi ketika yang diawasi dan yang mengawasi berasal dari trah yang sama. Ini sangat fatal.
Zulkieflimansyah pernah menulis soal dampak negatif politik dinasti yang dilanggengkan tanpa kepedulian dan kontrol dari legislatif, partai politik, dan masyarakat.
Cara tersebut hanya menjadikan partai sebagai mesin politik semata yang pada gilirannya menyumbat fungsi ideal partai sehingga tidak ada target lain kecuali kekuasaan.
Dalam posisi seperti ini, rekruitmen partai lebih didasarkan pada popularitas, kekayaan calon kepala daerah dan calon anggota legeslatif yang tujuannya semata-mata meraih kekuasaan.
Di sinilah kemudian muncul calon instan dan karbitan dari kalangan selebriti, pengusaha, “darah hijau” atau politik dinasti yang tidak melalui proses kaderisasi.
Konsekuensinya, ruang bagi kader-kader potensial yang berasal dari masyarakat tertutup.
Sirkulasi kekuasaan hanya berputar di lingkungan elite dan pengusaha semata. Negosiasi dan penyusunan konspirasi kepentingan dalam menjalankan tugas kenegaraan sangat mungkin terjadi antar-dua kelompok itu.
Dampaknya kemudian, sulitnya mewujudkan cita-cita demokrasi karena tidak terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance).
Fungsi kontrol kekuasaan melemah dan tidak berjalan efektif. Penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme sangat besar peluangnya untuk terjadi (lagi).
Politik dinasti membuat orang yang tidak kompeten memegang kekuasaan. Orang yang kompeten menjadi tidak dipakai karena alasan bukan keluarga.
Di samping itu, cita-cita kenegaraan menjadi tidak terealisasikan karena pemimpin atau pejabat negara tidak mempunyai kapabilitas dalam menjalankan tugas (Mkri.id, 10 Juli 2015).
Dengan melihat berbagai ekses penyimpangan politik dinasti dari beberapa kasus kepala daerah yang dicokok KPK, semakin terlihat pilkada yang telah berjalan tidak selalu menghasilkan kepala daerah yang ideal.
Kepala daerah produk Pilkada 2020 kemarin misalnya, sudah menghasilkan “perwakilan” korps rompi oranye KPK.
Bupati Kolaka Timur Andi Merya dan Bupati Kuansing Adi Putra langsung menyandang status tersangka di KPK meski baru beberapa bulan menikmati jabatannya sebagai kepala daerah. Satu dari dua nama itu adalah produk politik dinasti.
Sementara kepala daerah lain yang berlabel tersangka KPK adalah produk Pilkada sebelumnya. Sebagian besar diantaranya dari politik dinasti. Sungguh ambyar!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.