Apakah partai tidak memiliki institusi yang ajeg melakukan monitoring aspirasi warga dan kondisi sebenarnya di Kuansing ?
Jika benar partai membiarkan langgengnya politik dinasti ini maka partai tak ubahnya bagai sarang penyamun, tempat kader-kader mafia kekuasaan disemai.
Ketika kasus dinasti politik Banten dengan berbagai drama di belakangnya mencuat, publik baru terhenyak.
Dinasati politik Banten dirintis Tubagus Chasan Sochid, kontaktor kepercayaan Kodam Siliwangi sejak 1950-an. Dari urusan bisnis, keluarga Tubagus perlahan merambah wilayah politik.
Pembuka jalan di wilayah politik adalah Ratu Atut. Awalnya ia diplot sebagai wakil gubernur mendampingi Djoko Munandar pada 2002. Namun, karena Gubernur Djoko Munandar terbelit korupsi, Atut ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas Gubernur Banten.
Atut baru sah menjadi gubernur usai memenangi Pilkada 2007. Setelah itu, anak, menantu, dan kerabatnya menguasai hampir semua daerah di Banten, entah sebagai kepala daerah atau ketua DPRD bahkan maju sebagai anggota DPR.
Dominasi Atut goyah usai KPK menetapkannya sebagai tersangka pada 2013. Meski Atut tersingkir, para kerabatnya masih bercokol di beberapa daerah di Banten.
Gurita kekuasaan politik dan ekonomi keluarga Atut begitu kuat di tanah Banten. Publik begitu marah. Golkar yang menjadi partai asal Atut hingga hari ini tidak pernah memecat Atut.
Bahkan Golkar selalu mendukung setiap klan Atut yang maju di Pilkada. Di Golkar, Atut pernah duduk sebagai salah satu ketua dewan pimpinan pusat di era Ketua Umum Aburizal Bakrie.
Publik yang semula mengira Golkar akan mengambil sikap tegas usai penangkapan Atut harus kecewa. Golkar begitu permisif dengan praktik dinasti politik, sekalipun itu merugikan rakyat.
Kasus penangkapan Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex Noerdin oleh KPK beberapa waktu yang lalu juga menguatkan kesan permisif Golkar.
Golkar mendukung penuh Dodi yang adalah putra Gubernur Sumatera Selatan kala itu, Alex Noerdin. Cibiran publik hanya dianggap angin lalu. Yang penting menang Pilkada. Persetan urusan rakyat.
Kegilaan dinasti politik Probolinggo, Jawa Timur, mungkin akan menjadi narasi abadi di perkuliahan politik dan menjadi contoh kasus yang unik sekaligus ambyar.
Hasan Aminuddin adalah Bupati Probolinggo dua periode (2003-2013). Setelah lengser, roda pemerintahan Probolinggo beralih ke istri mudanya, Puput Tantriana Sari.
Keduanya kongkalikong menggunakan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri dengan memperjualbelikan jabatan kepala desa. Semua keputusan yang diambil Bupati Probolinggo, Puput Tantriana Sari, termasuk proses seleksi jabatan harus mendapat persetujuan dari suaminya, Hasan Aminuddin yang notabene sudah tidak lagi menjabat sebagia bupati.