Wakil Koordinator Tim Peneliti Jamesta, Yanu Endar Prasetyo mengatakan, rata-rata pendaftar berusia 31-34 tahun.
Paling banyak pendaftar lulusan sekolah menengah atas (SMA) dan belum menikah.
Sebagian besar pendaftar bekerja sebagai karyawan swasta atau berwirausaha, dan memiliki rata-rata pendapatan kurang dari Rp 1 juta per bulan.
Sementara dari faktor gender, jumlahnya relatif seimbang antara laki-laki dan perempuan.
Ketika membuka pendaftaran, tim peneliti memberikan pertanyaan soal rencana pendaftar jika terpilih mendapatkan Dana Jamesta.
Baca juga: Wapres Dorong Pengembangan UMKM untuk Hilangkan Kemiskinan Ekstrem
Menurut Yanu, mayoritas pendaftar mengatakan akan menggunakan uang tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, membeli sembako, makanan, nafkah hingga modal usaha.
Jawaban itu seakan mematahkan stigma bahwa masyarakat cenderung menggunakan bantuan tunai untuk keperluan yang tidak mendasar.
"Mayoritas (pendaftar) akan menggunakan uangnya untuk kebutuhan sehari-hari, sembako, untuk makan, nafkah keluarga, lalu untuk modal usaha. Lainnya, ada untuk sekolah, kuliah, bantu orangtua, menabung bahkan menikah," kata Yanu.
Dalam kesempatan yang sama, anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Mickael Bobby Hoelman mengatakan, pihaknya telah mengkaji penerapan Jamesta untuk mengatasi dampak yang timbul akibat pandemi.
Kajian tersebut telah dilakukan sejak awal masa pandemi untuk melihat kemungkinan penerapan Jamesta di Indonesia.
Selain itu, ia menekankan soal terobosan pembiayaan Jamesta. Menurut dia, penggalangan dana publik dalam penerapan Jamesta juga dilakukan oleh sejumlah negara.
Namun, ada pula negara yang mengkaji inovasi pembiayaan melalui realokasi anggaran, misalnya melalui skema perpajakan maupun subsidi harga.
"Ini yang memang menjadi perhatian dari beberapa negara. Kami dari DJSN sangat menunggu sekali apa yang nantinya dilahirkan dari eksperimen ini, untuk melihat visibility-nya," kata Mickael.