Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jamesta, Meniti Asa Pemulihan Ekonomi Pasca-pandemi

Kompas.com - 13/10/2021, 09:38 WIB
Kristian Erdianto,
Bayu Galih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kebijakan pemerintah untuk menahan peningkatan kemiskinan akibat pandemi Covid-19 dinilai belum maksimal dalam pemulihan ekonomi.

Hingga saat ini, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan melalui penyaluran bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat.

Setidaknya ada delapan jenis bansos, mulai dari kartu sembako, subsidi upah hingga bantuan langsung tunai untuk pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

Namun penyimpangan dalam penyalurannya justru terjadi, misalnya korupsi, bantuan bahan pokok yang tidak layak, hingga persoalan akurasi data penerima.

Baca juga: Begini Cara Cek Penerima Bansos PKH Tahap Empat yang Cair Oktober 2021

Terkait persoalan itu, sejumlah peneliti dan lembaga swadaya masyarakat memperkenalkan konsep Jaminan Pendapatan Dasar Semesta (Jamesta) atau universal basic income (UBI).

Mereka menggagas sebuah eksperimen di Yogyakarta, yakni Jamesta Istimewa.

Eksperimen ini selain untuk membantu masyarakat yang membutuhkan bantuan, juga untuk mengetahui dampak Jamesta terhadap perilaku penerima.

"Kami lakukan eksperimen Jamesta ini untuk mencari tahu dampak Jamesta terhadap perilaku penerima, plus sebagai bentuk solidaritas pemulihan ekonomi pada masa pandemi," ujar Koordinator Program Jamesta Istimewa, Sena Luphdika, dalam webinar yang digelar International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Selasa (12/10/2021).

Baca juga: Pak Jokowi, Saatnya Berpihak kepada Wong Cilik…

Apa itu Jamesta?

Jamesta merupakan konsep perlindungan sosial berupa pembayaran sejumlah uang tunai kepada semua orang secara individual, periodik, dan tanpa syarat apa pun. Konsep ini memang belum populer di Indonesia.

Sena menilai konsep Jamesta cocok diterapkan di Indonesia karena dapat menghindari risiko korupsi seperti yang terjadi saat penyaluran bansos.

Selain itu, Jamesta juga dianggap dapat memberikan kebebasan kepada penerima untuk menggunakan uang sesuai kebutuhan.

"Kalau bantuan dalam bentuk barang, kita mengasumsikan tahu apa yang dibutuhkan oleh penerima," ujar Sena.

Baca juga: Jokowi Beri Bantuan Rp 1,2 Juta, Pedagang Kompak Teriak Kurang...

Jamesta memiliki lima prinsip, pertama, jaminan pendapatan diberikan secara tunai. Kemudian bantuan diberikan secara berkala, tidak hanya satu atau dua kali.

Selanjutnya, penerima Jamesta merupakan individu, tidak diberikan per rumah tangga atau perwakilan kelompok.

Jamesta juga bersifat universal, artinya diberikan kepada semua orang yang berhak, karena dianggap sebagai hak dasar tiap warga.

Baca juga: Skema Bansos Tak Cukup Berantas Kemiskinan Ekstrem, Apa Solusinya?

Prinsip yang kelima yaitu Jamesta diberikan tanpa syarat, sehingga tidak berdasarkan pada status sosial ekonomi atau latar belakang lainnya.

"Ini memang berbeda sekali dengan pola dalam bantuan sosial," kata Sena.

Menurut Sena, berdasarkan lima prinsip tersebut, Jamesta dapat menjadi solusi untuk mempercepat pemulihan ekonomi masyarakat yang terdampak pandemi.

Dikutip dari Kompas.id, hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2021 menunjukkan sebanyak 19,10 juta penduduk usia kerja terdampak Covid-19.

Karena adanya pandemi Covid-19, sebanyak 1,62 juta orang menjadi penganggur; 0,65 juta orang menjadi bukan angkatan kerja; 1,11 juta orang sementara tidak bekerja; dan 15,72 juta orang bekerja dengan pengurangan jam kerja.

"Dampak pandemi begitu besar dan respons pemulihannya lamban, tidak tepat atau bahkan dicomot-comot. Melihat ini, kami merasa Jamesta atau UBI bisa menjadi solusi," tutur dia.

Baca juga: Mensos Minta Pemda dan Himbara Pastikan KPM Terima Bansos

Rancangan eksperimen Jamesta Istimewa

Eksperimen Jamesta Istimewa dibiayai dan dikelola secara swadaya oleh komunitas lokal dan peneliti.

Sepuluh orang penduduk Yogyakarta akan dipilih secara acak untuk mendapatkan Rp 500.000 per bulan selama enam bulan tanpa syarat. Pemberian Jamesta dilakukan pada periode November hingga April 2022.

Yogyakarta dipilih sebagai lokasi eksperimen karena memiliki upah minimum provinsi terendah. UMP Yogyakarta pada 2021 sebesar Rp 1.765.000 per bulan.

Kemudian, nilai garis kemiskinan di DIY pada 2021 adalah Rp 482.855 per bulan. Dengan demikian asumsinya, seseorang akan berada di atas garis kemiskinan ketika diberikan jamesta sebesar Rp 500.000 per bulan.

Penggalangan donasi untuk eksperimen ini dilakukan melalui kitabisa.com yang telah dibuka sejak September hingga 16 Oktober 2021.

Selama itu juga, tim membuka pendaftaran calon penerima dana Jamesta. Tercatat sudah lebih dari 2.000 orang yang mendaftar.

Baca juga: Menko PMK: Pengentasan Kemiskinan Ekstrem Tak Cukup dengan Bansos

Wakil Koordinator Tim Peneliti Jamesta, Yanu Endar Prasetyo mengatakan, rata-rata pendaftar berusia 31-34 tahun.

Paling banyak pendaftar lulusan sekolah menengah atas (SMA) dan belum menikah.

Sebagian besar pendaftar bekerja sebagai karyawan swasta atau berwirausaha, dan memiliki rata-rata pendapatan kurang dari Rp 1 juta per bulan.

Sementara dari faktor gender, jumlahnya relatif seimbang antara laki-laki dan perempuan.

Ketika membuka pendaftaran, tim peneliti memberikan pertanyaan soal rencana pendaftar jika terpilih mendapatkan Dana Jamesta.

Baca juga: Wapres Dorong Pengembangan UMKM untuk Hilangkan Kemiskinan Ekstrem

Menurut Yanu, mayoritas pendaftar mengatakan akan menggunakan uang tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, membeli sembako, makanan, nafkah hingga modal usaha.

Jawaban itu seakan mematahkan stigma bahwa masyarakat cenderung menggunakan bantuan tunai untuk keperluan yang tidak mendasar.

"Mayoritas (pendaftar) akan menggunakan uangnya untuk kebutuhan sehari-hari, sembako, untuk makan, nafkah keluarga, lalu untuk modal usaha. Lainnya, ada untuk sekolah, kuliah, bantu orangtua, menabung bahkan menikah," kata Yanu.

Dalam kesempatan yang sama, anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Mickael Bobby Hoelman mengatakan, pihaknya telah mengkaji penerapan Jamesta untuk mengatasi dampak yang timbul akibat pandemi.

Kajian tersebut telah dilakukan sejak awal masa pandemi untuk melihat kemungkinan penerapan Jamesta di Indonesia.

Selain itu, ia menekankan soal terobosan pembiayaan Jamesta. Menurut dia, penggalangan dana publik dalam penerapan Jamesta juga dilakukan oleh sejumlah negara.

Namun, ada pula negara yang mengkaji inovasi pembiayaan melalui realokasi anggaran, misalnya melalui skema perpajakan maupun subsidi harga.

"Ini yang memang menjadi perhatian dari beberapa negara. Kami dari DJSN sangat menunggu sekali apa yang nantinya dilahirkan dari eksperimen ini, untuk melihat visibility-nya," kata Mickael.

Langkah radikal

Perdebatan lain muncul seputar ide universal basic income. Banyak pihak beranggapan, memberikan bantuan tunai tanpa syarat kepada masyarakat bukanlah keputusan yang bijak.

Ada persepsi soal anggaran yang dibutuhkan terlalu besar jika Jamesta diterapkan secara nasional. Kemudian timbulnya inflasi karena peredaran uang tunai dalam jumlah yang besar.

Ada pula stigma, masyarakat tidak mampu mengelola atau memanfaatkan bantuan tunai secara tepat. Kekhawatiran yang mencuat, uang yang mereka terima akan digunakan untuk membeli barang yang tak sesuai kebutuhan.

Baca juga: Kemiskinan Meningkat, Jaminan Perlindungan Sosial Belum Berubah

Rutger Bregman dalam bukunya berjudul Utopia For Realists (2017) memiliki pandangan yang berbeda.

Pandangannya ini berdasarkan eksperimen sosial pada 2009 terhadap 13 tunawisma di London yang telah hidup di jalanan selama hampir 40 tahun.

Bila dihitung, anggaran negara yang dihabiskan untuk program kesejahteraan sosial bagi ketigabelas orang itu mencapai 400.000 hingga 650.000 poundsterling, dalam setahun. Ini setara lebih dari Rp 7,78 miliar hingga Rp 12,64 miliar.

Kemudian, Broadway, organisasi sosial di London, menginisiasi kebijakan yang cukup radikal. Ketigabelas tunawisma itu diberi bantuan tunai sebesar 3.000 poundsterling atau setara Rp 58,32 juta.

Bantuan diberikan tanpa syarat. Mereka bebas menggunakan uang tersebut untuk keperluan apa pun. Ternyata, eksperimen tersebut menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan.

Tak seperti tudingan bahwa orang miskin akan menggunakan uang yang didapat untuk hal-hal tak berguna, seperti rokok dan minuman keras, bantuan tunai dengan angka signifikan untuk memenuhi kebutuhan dasar ternyata dimanfaatkan dengan baik dan benar.

Dalam satu tahun, ketigabelas tunawisma itu rata-rata hanya menghabiskan 800 poundsterling dari total bantuan yang mereka dapat.

Baca juga: Pandemi Covid-19 Tingkatkan Kemiskinan Kronis hingga 9,84 Juta Jiwa

Simon, salah satu tunawisma, misalnya, berhasil terbebas dari ketergantungan heroin. Hidupnya berubah drastis berkat bantuan tersebut.

Ia mulai memperhatikan kebersihan diri dan mulai mengambil kelas berkebun. Kemudian, ia memutuskan untuk membeli rumah dan mengurus dua anaknya.

Setelah eksperimen itu berjalan selama 1,5 tahun, tujuh orang telah memiliki tempat tinggal. Dua orang memutuskan menyewa apartemen. Hidup mereka berubah dan berdaya secara mandiri, bahkan memiliki rencana-rencana di masa depan.

Menurut Bregman, program tersebut tidak hanya mampu memberdayakan masyarakat miskin agar mampu mandiri, tetapi juga menghemat anggaran negara. Kejahatan sosial akibat ketidakberdayaan hidup juga dapat ditekan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kenaikan Pangkat TNI: 8 Perwira Pecah Bintang, Kabais Resmi Berpangkat Letjen

Kenaikan Pangkat TNI: 8 Perwira Pecah Bintang, Kabais Resmi Berpangkat Letjen

Nasional
JK Nilai Konflik Papua terjadi karena Pemerintah Dianggap Ingin 'Merampok'

JK Nilai Konflik Papua terjadi karena Pemerintah Dianggap Ingin "Merampok"

Nasional
Biasa Koordinasi dengan PPATK, Dewas Nilai Laporan Wakil Ketua KPK Aneh

Biasa Koordinasi dengan PPATK, Dewas Nilai Laporan Wakil Ketua KPK Aneh

Nasional
Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

Nasional
Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

Nasional
Rencana Revisi, DPR Ingin Sirekap dan Digitalisasi Pemilu Diatur UU

Rencana Revisi, DPR Ingin Sirekap dan Digitalisasi Pemilu Diatur UU

Nasional
BKKBN Minta Bocah 7 Tahun Sudah Tunangan Tak Dianggap Biasa

BKKBN Minta Bocah 7 Tahun Sudah Tunangan Tak Dianggap Biasa

Nasional
Terungkap di Sidang, Biaya Ultah Cucu SYL Di-“reimburse” ke Kementan

Terungkap di Sidang, Biaya Ultah Cucu SYL Di-“reimburse” ke Kementan

Nasional
Tanggapi Jokowi, Djarot PDI-P: Konstitusi Dilanggar dan Direkayasa, Kekaderannya Patut Diragukan

Tanggapi Jokowi, Djarot PDI-P: Konstitusi Dilanggar dan Direkayasa, Kekaderannya Patut Diragukan

Nasional
Polri Akan Gelar Operasi Puri Agung 2024, Kawal World Water Forum Ke-10 di Bali

Polri Akan Gelar Operasi Puri Agung 2024, Kawal World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
Prabowo Guncangkan Badan Surya Paloh, Sama seperti Anies Kemarin

Prabowo Guncangkan Badan Surya Paloh, Sama seperti Anies Kemarin

Nasional
Kasus Dana PEN, Eks Bupati Muna Divonis 3 Tahun Bui

Kasus Dana PEN, Eks Bupati Muna Divonis 3 Tahun Bui

Nasional
Surya Paloh Bakal Bertemu Prabowo Sore Ini, Nasdem Belum Ambil Keputusan

Surya Paloh Bakal Bertemu Prabowo Sore Ini, Nasdem Belum Ambil Keputusan

Nasional
Jalankan Amanah Donatur, Dompet Dhuafa Berbagi Parsel Ramadhan untuk Warga Palestina

Jalankan Amanah Donatur, Dompet Dhuafa Berbagi Parsel Ramadhan untuk Warga Palestina

Nasional
Wapres Sebut Target Penurunan 'Stunting' Akan Dievaluasi

Wapres Sebut Target Penurunan "Stunting" Akan Dievaluasi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com