Hasrat Belanda dalam melakukan upaya perimbangan kekuatan agar meminimalisasi ketergantungan terhadap Inggris dan AS, dalam menghadapi ancaman dari luar menjadi sirna.
Satu hal yang menarik untuk dicermati ialah respons Amerika Serikat (AS) dan Inggris, yang justru bersikap dingin terhadap rencana Belanda tersebut.
Dalam pandangan Inggris, seluruh upaya yang tujuannya diarahan untuk memagari Hindia Belanda, haruslah ditempuh lewat pendekatan aliansi, bukan dengan melakukan modernisasi armada.
Baca juga: Hari ini dalam Sejarah: Belanda Serahkan Indonesia ke Jepang
AS dan Inggris mengabaikan ancaman geopolitik yang nyata. Padahal para pakar geopolitik terkemuka sudah memberikan peringatan akan terjadinya perang besar yang mengancam kedudukan pasukan barat di Asia-Pasifik. Salah satunya sebagaimana yang dikemukakan oleh ahli geopolitik Jerman Karl Haushofer.
Semua ramalan perang dan tanda-tanda meningkatnya ketegangan di kawasan Asia-Pasifik tampak luput dari pengawasan AS dan Inggris.
Ketiadaan aliansi yang kuat di kawasan itu kemudian memudahkan perluasan ekspansi Jepang. Pandangan realisme defensif yang mengarusutamakan perimbangan kekuatan di kawasan sebagai kunci menghindari malapetaka perang juga diabaikan.
Seandainya perimbangan kekuatan kawasan sudah tercipta saat itu, mungkin perang besar di Pasifik yang menelan banyak korban jiwa tidak terjadi.
Tetapi untuk menyimulasikan rekayasa semacam itu hanya akan menimbulkan masalah baru. Terutama bila dikaitkan dengan masa depan Indonesia yang saat itu berada dalam cengkeraman erat Belanda.
Di sisi lain, Vlootwet telah memberikan kita gambaran tentang betapa Belanda telah mengembangkan kepekaan dan berusaha bereaksi terhadap situasi geopolitik di Asia-Pasifik saat itu.
Vlootwet lahir dari analisis berbagai komisi yang sangat khawatir dengan kondisi pertahanan maritim Hindia Belanda yang lemah.
Kekhawatiran itu membuat Belanda secara estafet melakukan kajian bidang pertahanan sejak tahun 1906 sampai tahun 1923, padahal Jepang baru benar-benar mendarat di Hindia Belanda tahun 1942.
Saya tidak sedang mengarahkan pembahasan pada analogi sejarah yang klise dengan memaksakan perbandingan mengenai kondisi geopolitik pada masa lalu dan relevansinya dengan situasi pertahanan maritim Indonesia kontemporer.
Yang ingin saya katakan ialah bahwa ada suatu pelajaran berharga tentang kesadaran mengenai sensibilitas, baik dalam menangkap pesan gejolak geopolitik maupun dalam telaah mengenai identitas pertahanan kita.
Hal ini dapat kita jadikan sebagai instrumen dalam menilai dan menyikapi situasi aktual yang tengah kita hadapi, dan mungkin merancang simulasi tentang kesiapan Indonesia dalam menghadapi potensi konflik yang mengancam di masa depan.
Ini menurut saya cukup penting, karena kita berada di tengah kawasan yang mempunyai iklim geopolitik yang cenderung bergolak, karenanya tidak banyak berubah.
Kondisi geopolitik di kawasan ini selalu dinamis, dan dianggap sebagai salah satu kawasan yang menjadi titik terpanas di dunia yang menyeret nama negara-negara besar di dalamnya.
Nama pasifik yang berarti teduh tidak merepresentasikan kenyataan yang sebenarnya. Kita hidup di tengah kawasan yang tidak benar-benar teduh.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.