JAKARTA, KOMPAS.com - Koalisi Masyarakat Sipil mengecam laporan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan terhadap aktivis Haris Azhar dan Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti ke polisi.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai pelaporan tersebut merupakan salah satu bentuk serangan pada para pembela hak asasi manusia oleh pejabat Indonesia dengan cara menyalahgunakan hukum untuk keperluan dirinya sendiri.
"Kami menilai pelaporan pidana dan gugatan perdata pada Fatia dan Haris adalah ancaman yang serius terhadap demokrasi dan kerja-kerja Pembela Hak Asasi Manusia," perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil dari LBH Pers, Ade Wahyudin dalam keterangan tertulis, Rabu (22/9/2021).
Baca juga: Amnesty Desak Kepolisian Tak Tindaklanjuti Laporan Luhut Terhadap Haris dan Fatia
Ade mengatakan, dalam kasus itu, para pembela HAM yang seharusnya diberikan jaminan perlindungan atas kerja-kerjanya, kini malah mendapatkan serangan dari pejabat publik.
Selain itu, ia menambahkan, kasus serupa juga terlihat pada kasus Egi Primayogha dan Miftahul Choir dari ICW yang dilaporkan oleh Moeldoko selaku Kepala Staf Presiden.
Menurut Ade, ancaman hukum tersebut berpotensi tereskalasi menjadi proses Strategic Lawsuits Against Public Participation (SLAPP).
"Menciptakan lingkungan tanpa ruang demokrasi dan melemahkan kemampuan pembela hak asasi manusia untuk menjalankan pekerjaan mereka dan berbicara kebenaran kepada kekuasaan tanpa rasa takut akan pembalasan," kata dia.
Baca juga: Luhut dan Moeldoko, Para Pejabat yang Laporkan Aktivis ke Polisi...
Lebih lanjut, ia menilai pelaporan itu semakin menunjukkan karakter bahwa "hukum yang selalu tajam ke bawah, tumpul ke atas."
Selanjutnya, pelaporan pidana tersebut juga menegasikan upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengerem laju kasus-kasus UU Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pasalnya, diketahui sejak 26 Juni 2021 sudah ada SKB dari Kemenkominfo, Kejaksaan, serta Kepolisian yang mengatur pedoman interpretasi atas pasal-pasal yang kerap disalahgunakan.
Secara khusus, dalam pedoman SKB Pasal 27 ayat (3) poin c yang berbunyi "bukan merupakan delik pencemaran nama.... bila berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi dan kenyataan." dan dalam poin f dicantumkan bahwa pasal pencemaran nama bukanlah untuk institusi, korporasi, profesi atau jabatan.
"Artinya, pejabat publik tidak bisa menggunakan UU ITE ini karena ini bukan menyangkut diri pribadi yang spesifik," ujar dia.
Baca juga: Dilaporkan Luhut, Kuasa Hukum Fatia Sebut yang Disampaikan Kliennya Bukan Pencemaran Nama Baik
Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Purnomo mendorong jajarannya untuk tidak menindaklanjuti pelaporan pidana terhadap para aktivis HAM.
Adapun, Koalosi Masyarakat Sipil Serius tersebut terdiri dari AJI Indonesia, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Forum-Asia, Greenpeace Indonesia, ICJR, Indonesia Corruption Watch (ICW), IJRS.
Kemudian, Imparsial, Koalisi Perempuan Indonesia, KontraS, KPJKB Makassar, LBH Apik, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, LBH Pers LeIP, PAKU ITE, PBHI, PUSKAPA UI, PSHK, Rumah Cemara, SAFEnet, WALHI, YLBHI.
Diberitakan, Luhut melaporkan Haris Azhar dan Fatia ke Polda Metro Jaya, Rabu. Pelaporan itu berkaitan dengan pencemaran nama baik.
"Saya melaporkan pencemaran nama baik saya dengan polisi. Haris Azhar dan Fatia (yang dilaporkan)," ujar Luhut kepada wartawan di Mapolda Metro Jaya, Rabu.
Baca juga: Haris Azhar Sempat Kirim Undangan Pertemuan, tapi Luhut Tidak Datang
Pelaporan ini berangkat dari diskusi yang dilakukan Haris dan Fatia mengenai dugaan keterlibatan Luhut dalam bisnis tambang di Papua.
Diskusi ini disiarkan melalui kanal YouTube Haris Azhar berjudul "Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-OPS Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!!NgeHAMtam".
Pembicaraan diskusi ini sendiri berangkat dari laporan "Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya" yang dilakukan YLBHI, Walhi Eksekutif Nasional, Pusaka Bentala Rakyat, Walhi Papua, LBH Papua, Kontras, JATAM, Greenpeace Indonesia, hingga Trend Asia.
Dikutip dari Kontras.org, kajian ini memperlihatkan indikasi relasi antara konsesi perusahaan dengan penempatan dan penerjunan militer di Papua dengan mengambil satu kasus di Kabupaten Intan Jaya, Papua.
Baca juga: Laporkan Haris Azhar dan Fatia, Luhut: Kebebasan Berpendapat Harus Beretika
Dalam laporannya, ada empat perusahaan di Intan Jaya yang teridentifikasi, yakni PT Freeport Indonesia (IU Pertambangan), PT Madinah Qurrata’Ain (IU Pertambangan), PT Nusapati Satria (IU Penambangan), dan PT Kotabara Miratama (IU Pertambangan).
Dua dari empat perusahaan itu yakni PT Freeport Indonesia (PTFI) dan PT Madinah Qurrata’Ain (PTMQ) adalah konsesi tambang emas yang teridentifikasi terhubung dengan militer atau polisi termasuk Luhut.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.