JAKARTA, KOMPAS.com – Upaya pemerintah dalam menjamin perlindungan hak asasi manusia (HAM) masih dinanti. Salah satu langkah diharapkan yakni terkait ratifikasi Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa.
Harapan itu kembali digaungkan tepat di Hari Anti-penghilangan Paksa Sedunia yang jatuh setiap 30 Agustus. Sementara pada 2009, Pansus DPR sudah mengeluarkan rekomendasi terkait ratifikasi konvensi tersebut.
Rekomendasi itu terkait kasus penculikan dan penghilangan aktivis 1997-1998. Komnas HAM menyatakan terdapat dugaan pelanggaran HAM berat dalam bentuk pembunuhan, perampasan dan penghilangan secara paksa terhadap penduduk sipil.
Pansus Orang Hilang DPR juga merekomendasikan Presiden untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc dan melakukan pencarian terhadap 13 orang yang dinyatakan hilang. Kemudian, rehabilitasi dan pemberian kompensasi terhadap keluarga korban.
Baca juga: Pemerintah Diminta Ajukan Draf Ratifikasi Konvensi Perlindungan dari Penghilangan Paksa
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas, Senin (30/8/2021), menunjukan 76 persen responden setuju jika pemerintah segera melakukan ratifikasi. Sedangkan 10,5 persen tidak setuju, dan 13,5 persen menyatakan tidak tahu.
menurut peneliti Litbang Kompas Arita Nugraheni, sebagian besar responden berharap negara segera ikut meratifikasi demi menghadirkan jaminan pada setiap orang atas hak dilindungi dari penghilangan paksa.
Di Indonesia sendiri, ratifikasi Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa dinilai penting mengingat ada beberapa kasus pelanggaran HAM masa lalu yang terkait dengan penghilangan paksa.
Sembilan kasus itu antara lain Tragedi 1965, penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, pembantaian Talangsari, penembakan misterius pada era Orde Baru, kerusuhan Tanjung Priok, penculikan aktivis 1997-1998, dan operasi militer di Papua.
Di sisi lain, survei Litbang Kompas juga menunjukkan 42,9 responden tak yakin pemerintah dapat menuntaskan berbagai kasus penghilangan orang secara paksa.
Hasil ini memunculkan pesan soal kekhawatiran publik pada lambannya penyelesaian kasus pelanggaran HAM khususnya terkait penghilangan paksa yang terjadi di Indonesia.
Baca juga: Survei Litbang Kompas: 42,9 Persen Responden Tak Yakin soal Penuntasan Kasus Penghilangan Paksa
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat Hinca Pandjaitan meminta pemerintah segera memberikan draf rancangan undang-undang (RUU) terkait ratifikasi.
Hinca mengatakan, saat ini proses ratifikasi belum berjalan karena DPR belum mendapatkan draf RUU dari pemerintah.
Meski tak masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) lima tahunan dan Prolegnas tahun 2021, Hinca optimis RUU tersebut masih bisa disahkan pada tahun ini.
Mengacu pada Pasal 114 Ayat (4) huruf b UU Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR RI, DPR dan Presiden masih bisa mengajukan RUU yang belum masuk Prolegnas untuk disahkan sepanjang menjadi urgensi bersama.
“Sekali lagi (pemerintah) jangan lama-lama, bolanya jangan di otak-atik dekat kotak penaltinya eksekutif, segera saja lempar kedepan supaya bisa sampai ke parlemen, supaya bisa segera kita siapkan,” ujar Hinca, dalam diskusi secara daring yang digelar Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Senin kemarin.