JAKARTA, KOMPAS.com - Dekan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Jakarta Asmin Fransiska beranggapan, tidak diperbolehkannya penggunaan narkotika untuk pelayanan kesehatan sangat merugikan Indonesia.
Fransiska mengatakan hal itu saat menjadi saksi ahli dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika di Mahkamah Kostitusi, Senin (30/8/2021).
"Pembacaan atas pasal bahwa narkotika tidak diperbolehkan untuk layanan kesehatan sangatlah merugikan negara Indonesia yang hanya didasari pada konteks keamanan," kata Fransiska dalam sidang yang disiarkan secara daring.
Adapun Fransiska menjadi saksi ahli dari pihak pemohon yakni tiga orang ibu yang anaknya tengah menderita sakit dan tidak bisa mendapatkan akses pengobatan menggunakan narkotika golongan I.
Mereka memperkarakan Pasal 6 ayat 1 huruf H, Pasal 8 ayat 1 UU Narkotika.
Baca juga: Peredaran Narkotika Jaringan Thailand-Aceh Diungkap, Barang Bukti 324,3 Kg Sabu
Fransiska melanjutkan, pasal dalam UU Narkotika yang digugat pemohon juga bertentangan dengan maksud dan tujuan Konvensi Tunggal Narkotika Tahun 1961 serta UU Narkotika.
UU menyebutkan bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil sesuai amanat UUD serta meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia dalam rangka mewujudkan kesejahateraan, perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan.
Salah satunya, menurut dia, mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat, serta melakukan pencegahan dan pemberatasan bahaya penyalahgunaan narkotika.
Menurut Fransiska, Indonesia saat ini lupa bahwa pengaplikasian tujuan Konvensi Tunggal Narkotika Tahun 1961 dan UU Narkotika harus didasari aspek kesehatan dan ilmu pengetahuan.
"Yang bertujuan menjamin kesejahteraan kesehatan warga negara dan warga dunia," ujar dia.
Baca juga: Sidang Uji Materi UU Narkotika, Pemohon Nilai Larangan Penggunaan Ganja untuk Pengobatan Merugikan
Adapun pemohon pertama diketahui seorang ibu bernama Dwi yang anaknya awalnya menderita pheunomia namun akibat kesalahan diagnosa pengobatan menjadi meningitis.
Dwi pun mendengar adanya terapi dengan cannabidiol yang terbuat dari ekstrak ganja (CBD oil) dan menjalani terapi tersebut pada tahun 2016 di Australia. Hasilnya kesehatan anak Dwi mulai membaik.
Sementara pemohon kedua adalah Santi, yang anaknya normal sejak lahir namun kesehatannya menurun saat menginjak taman kanak-kanak.
Ia pun disarankan temannya yang merupakan warga negara asing untuk melakukan terapi CBD oil.
Namun Santi tidak berani melakukannya karena ada larangan narkotika golongan I dalam UU Nomor 35 Tahun 2009.
Sedangkan pemohon ketiga adalah Novia yang anaknya menderika epilepsi dan tidak bisa menggunakan terapi CBD oil.
Baca juga: Ingin Ganja Dilegalkan untuk Pengobatan, 3 Ibu Gugat UU Narkotika ke MK
Selain tiga orang tersebut, beberapa lembaga lainnya juga ikut menjadi penggugat yakni ICJR, LBH Masyarakat, IJRS, Yakeba dan EJA.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.