DI masa pandemi Covid-19 ini satu persatu sahabat saya dipanggil ke hadirat-Nya.
Maut datang begitu cepat. Pagi hari kami riuh rendah bercanda membahas kekonyolan saat bekerja bersama di salah satu stasiun televisi swasta di grup obrolan sebuah linimasa, malamnya kami tersentak kaget. Seorang sahabat berpulang tanpa pamit.
Demikian juga dengan sahabat yang lain. Ajal menjemputnya saat kakak kandungnya berkoar-koar di berbagai forum menyatakan bahwa pagebluk ini adalah konspirasi internasional.
Tidak hanya sahabat, kerabat terdekat pun menerima takdir serupa. Kebahagian keluarga kecilnya terkoyak.
Ia berjuang lama untuk mendapatkan keturunan. Ketika Si Kecil hadir di tengah keluarga, Si Ibu yang adalah sepupu saya ini harus pergi selama-lamanya. Suaminya kini seorang diri membesarkan anaknya yang masih balita.
Tidak hanya kerabat, sahabat, tetangga, tetapi juga tokoh-tokoh bangsa, pesohor, ataupun sosok individu yang tidak kita kenal, satu persatu tutup usia karena wabah. Batas antara kehidupan dan kematian seolah tanpa sekat.
Kematian serasa hanyalah menunggu giliran, ibarat antrean warga yang berkepentingan dengan urusan administrasi kependudukan di kantor kelurahan. Satu persatu menunggu panggilan.
Bagi yang permukimannya berjarak selemparan hasta dengan lokasi pemakaman umum, suara sirene kendaraan ambulans seperti koor tanpa jeda. Meraung-raung meminta jalan agar cepat bisa mengubur jenazah.
Demikian juga dengan sirene yang memekakkan daun telinga, saat ambulans antre masuk rumah sakit. Semuanya terburu-buru menyelamatkan nyawa guna mendapatkan pertolongan.
Suara sirene, bendera kuning, pemberitahuan dadakan lewat pengeras suara di masjid dan kabar duka di linimasa seolah menjadi ritual harian.
Lansekap kehidupan kita berubah total. Suasana jalan semakin lengang. Lalu lalang di jalan semakin berkurang. Silaturahmi semakin jarang. Kita lebih banyak mengurung diri di rumah.
Tidak hanya ajal dan penyakit yang tidak kita ketahui kapan tibanya, penopang kehidupan pun ikut goyah karena pandemi.
Jika yang bestatus pegawai negeri maka masih lumayalah mengamankan asap terus mengepul di dapur.
Sementara yang bekerja di perusahaan swasta, menerima pasrah keputusan pemotongan upah karena memang pendapatan perusahaan merosot drastis.
Tetapi bagi kami yang bersatus partikelir tanpa kantor, yang berjibaku dengan usaha sendiri, melihat wabah seperti momok yang menyeramkan.