Bagi yang bisa survive, pandemi harus disiasati dengan penghematan atau terpaksa menjual aset yang ada.
Menjual aset di masa sekarang pun bukan perkara mudah karena sulitnya mencari pembeli yang sanggup membayar dengan harga normal. Terpaksa barang yang dijajakan terjual dengan harga di bawah pasaran.
Sementara yang tidak beruntung, kehidupan ekonominya benar-benar tercerabut. Pemutusan hubungan kerja (PHK) atau dipecat dari tempatnya bekerja serta usaha pedagang kecil yang gulung tikar adalah realitas yang tak bisa ditolak oleh sebagian kita.
Pagebluk ini juga membuat sahabat-sahabat saya yang bergerak di sektor swasta sulit mengais rezeki. Tender hampir tidak ada lagi. Pekerjaan sub-kontrak juga hilang. Semua serba sulit.
Seorang bekas pramugari maskapai nasional yang membuka usaha warung makan di Tarakan, Kalimantan Utara, mengaku pendapatan hariannya terus merosot tajam karena daerahnya terus menerus masuk dalam zona merah pandemi.
Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berseri-seri menjadi lonceng kematian usahanya. Belum lagi para karyawannya yang begiliran terkena Covid.
Salah satu alumni fakultas ilmu-ilmu murni di sebuah kampus negeri di Depok yang telah lama di-PHK dari tempatnya bekerja memilih mengajar di bimbingan tes. Sejak pandemi ia banting stir jualan kue kering.
Tempatnya mengajar di bimbingan tes tidak lagi mendapatkan siswa baru. Selain terkena larangan mengadakan kegiatan dengan alasan protokol kesehatan, orangtua dari siswa pun kini kesulitan membiayai les ekstra kurikuler tersebut. Orang tua siswa memilih anak-anaknya belajar sendiri di rumah demi penghematan.
Dari seekor burung, kita bisa tahu bagaimana gigihnya mencari pakan. Dari pagi buta hingga malam, ia terus ke sana ke mari mencari peluang untuk kehidupannya.
Dari semak belukar kita bisa berkhidmat, walau tumbuh tidak terawat tetapi bisa hidup dan berpinak ke mana-mana. Alam memberikan petunjuk bahwa hidup harus diperjuangkan. Jangan pernah menyerah.
Kemarin kita boleh mengibarkan bendera putih tanda menyerah, tetapi hari ini kita kibarkan bendera warna-warni sebagai isyarat kebangkitan diri.
Seorang sahabat saya asal Malang, Jawa Timur punya kisah nyentrik. Sebelum pandemi beragam usahanya berkembang pesat. Ia mengerjakan puluhan proyek. Ia pun terus mengembangkan usaha-usaha lain. Ladang usahanya tumbuh di mana-mana.
Begitu wabah melanda, satu persatu usahanya merugi. Dia tidak mem-PHK karyawannya, karena tidak tega dengan nasib keluarga anakbuahnya.
Saat Pemerintah Kota Malang, Jawa Timur, kelimpungan karena kesulitan mengadakan vaksinasi, justru sahabat saya ini memanfaatkan semua jaringannya untuk menggelar vaksinasi.
Awal Agustus kemarin sekitar 2.500 warga Malang mendapat vaksinasi. Ia melibatkan 200 relawan dan panitia. Semua kebutuhan pelaksanaan disediakan termasuk segelas kopi hangat dari Social Palace untuk warga yang telah divaksin. Social Palace ini adalah kafe dan resto milik sahabat saya, pasangan suami istri Arifin dan Dewi