"Banyak hal sederhana yang memilukan saat pandemi..."
KOMPAS.com - Pria itu hanya bisa melihat dari kejauhan saat istrinya dimakamkan. Beberapa petugas dengan APD (alat pelindung diri) lengkap menurunkan peti jenazah ke liang lahat.
Raut wajahnya tergores kesedihan yang sangat, namun ia berusaha tetap kuat di depan anaknya.
Ia menepuk pundak sang anak, berupaya menenangkan.
Momen tersebut ditangkap melalui lensa fotografer Kompas.com Kristianto Purnomo saat meliput suasana pemakaman jenazah Covid-19 di TPU Rorotan TPU Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara, Kamis (24/6/2021) malam.
"Banyak hal sederhana yang memilukan saat pandemi," ucap Kristianto ketika berbincang mengenai hasil fotonya, Minggu (27/6/2021).
Baca juga: Rekor Kasus Baru Covid-19, Tingginya Kematian Pasien, hingga Desakan PSBB...
Situasi pandemi Covid-19 di Tanah Air kian mengkhawatirkan. Akhir pekan lalu, penambahan kasus positif tercatat paling tinggi di dunia, yakni 21.342 orang.
Kemudian, angka kematian dalam sehari mencapai 409 orang, terbanyak kedua setelah Rusia dengan 599 orang.
Sementara pasien Covid-19 yang tengah dirawat di rumah sakit atau isolasi mandiri tercatat 207.685 kasus. Angka ini tertinggi selama pandemi.
Belum lagi ratusan dokter, perawat dan tenaga kesehatan yang meninggal dunia karena terpapar virus corona. Indonesia berada di ambang tragedi kemanusiaan.
Baca juga: UPDATE: Sebaran 21.342 Kasus Baru Covid-19, Jakarta Tertinggi dengan 9.394
Pemerintah diminta bersikap lebih tegas dan jelas untuk mengatasi lonjakan kasus. Kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berskala mikro dinilai tidak akan efektif.
Menurut Presiden Joko Widodo, pemerintah telah menerima masukan soal pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan lockdown.
Namun, ia menekankan, PPKM skala mikro paling tepat karena tidak mematikan ekonomi masyarakat.
Di sisi lain, kebijakan tersebut memperhitungkan kondisi ekonomi, sosial, politik, dan pengalaman dari negara lain.
Baca juga: Jaga Kewarasan di Tengah Pandemi, Saatnya Pemerintah Tarik Rem Darurat
Pendapat berbeda datang dari kalangan ahli kesehatan, budayawan, aktivis hingga ekonom. Mereka meminta pemerintah segera menarik rem darurat.
Artinya, sektor kesehatan perlu lebih diprioritaskan. Nyawa manusia semestinya jadi pertimbangan utama di antara angka statistik pertumbuhan ekonomi dan kepentingan politik.
Peneliti ISEAS Yanuar Nugroho mengatakan, perekonomian Indonesia tidak akan pulih jika pemerintah tidak berhasil mengendalikan pandemi lebih dahulu.
Sementara, Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Wahid menuturkan, saat ini perlu ada cara baru dalam menangani pandemi.
Ia mengutip pernyataan ilmuwan Albert Einstein, bahwa mengulang hal yang sama tetapi mengharapkan hasil berbeda adalah ketidakwarasan.
Baca juga: Kritik KSP Bahas Ibu Kota Baru Saat Pandemi, Anggota DPR: Masyarakat Sedang Menderita
Prioritaskan kesehatan
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Rimawan Pradiptyo, menyayangkan masih munculnya perdebatan soal sektor mana yang harus diprioritaskan, kesehatan atau ekonomi.
Padahal, pandemi ini telah berlangsung selama 16 bulan. Ia mengingatkan, jangan sampai penanganan pandemi melibatkan kepentingan politik dan melupakan aspek kemanusiaan.
“Ini situasinya memang genting. Sejak awal kami sudah menyuarakan jangan ada politik, karena kalau mabuk politik pandeminya malah enggak selesai,” ujar Rimawan saat dihubungi, Kompas.com, Minggu (27/6/2021).
Rimawan berpandangan, kebijakan PPKM skala mikro tidak mungkin efektif dalam membatasi mobilitas masyarakat. Sebab, zonasi PPKM terlalu kecil, yakni di tingkat Rukun Warga (RW).
Sementara, mobilitas masyarakat cenderung bergerak antarkabupaten.
“Jadi tidak logis ketika pembatasannya hanya di tingkat RW,” tutur inisiator Sambatan Jogja (Sonjo) itu.
Baca juga: UPDATE: Rekor 218.476 Kasus Aktif Covid-19, Tertinggi Selama Pandemi
Rimawan menyarankan penerapan PSBB atau lockdown pada Pulau Jawa dan Bali. Minimal, kebijakan itu berlaku pada tingkat provinsi.
Penerapan PSBB berlaku paling tidak selama dua pekan. Mobilitas masyarakat benar-benar dibatasi dan hanya sektor esensial saja yang boleh beroperasi.
Kemudian, ia mengusulkan ketentuan mengenai zonasi jangan dikaitkan dengan masalah aktivitas sosial, ekonomi, maupun keagamaan.
“Jadi masalah zonasi itu seharusnya hanya dikaitkan dengan penanganan covid,” kata Rimawan.
Selama PSBB, pemerintah diminta memperbanyak testing. Dengan begitu, kasus positif Covid-19 dapat segera diidentifikasi dan diisolasi.
Selain itu, peningkatan testing dan pelacakan (tracing) juga perlu dibarengi dengan fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai. Misalnya, membangun selter bagi pasien yang harus menjalani isolasi mandiri dan rumah sakit lapangan khusus.
Ia mencontohkan upaya Pemerintah Kabupaten Bantul yang telah memiliki rumah sakit lapangan khusus Covid-19 sejak April 2020, tidak lama setelah Presiden Jokowi mengumumkan kasus pertama pada 2 Maret 2020.
“Kabupaten Bantul mendirikan rumah sakit lapangan sejak april 2020. Sampai januari 2021 mereka memiliki tiga selter kabupaten dan satu RS lapangan,” ucap Rimawan.
Baca juga: Rekor Kasus Baru Covid-19, Anggota DPR: Bukti PPKM Mikro Gagal
Pendapat senada diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Prakarsa Ah Maftuchan. Ia mengatakan, pemulihan ekonomi tidak akan terjadi tanpa penanganan sektor kesehatan lebih dahulu.
Ia menyarankan pemerintah kembali menerapkan PSBB atau karantina wilayah secara ketat. Mobilitas kegiatan masyarakat, kecuali sektor esensial, benar-benar dibatasi.
“Orang tetap melakukan mobilitas untuk mencari pendapatan sehingga pengetatan ala PPKM kurang efektif,” kata Maftuch.
Menurut Maftuch, karantina wilayah perlu diterapkan selama tiga bulan untuk menekan lonjakan kasus Covid-19.
Untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, pemerintah perlu memberikan jaminan penghasilan semesta (jamesta) atau universal basic income. Bantuan tersebut diberikan secara tunai dan tanpa syarat.
Skema ini juga akan menciptakan kemandirian masyarakat dalam menentukan pilihan-pilihan konsumsinya.
Selain itu, bantuan tunai tanpa syarat akan menjadi salah satu sumber pendapatan dasar yang dapat digunakan untuk kegiatan konsumtif dan produktif secara bersamaan.
Masyarakat dapat menjaga daya belinya dan mempertahankan standar hidup layak.
Sebab, bantuan tunai tanpa syarat menciptakan mekanisme distribusi sumber daya ekonomi secara lebih adil dan merata dengan cara-cara yang bermartabat.
Maftuch meyakini pemerintah mampu menerapkan skema tersebut. Ia menyebutkan beberapa strategi pendanaan, antara lain efisiensi belanja rutin kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah, serta penundaan pelaksanaan proyek strategis nasional.
Pemerintah pusat dan daerah juga diminta menanggalkan egosektoral.
“Vaksinasi perlu digenjot dan diberikan ke semua warga. Jika dua kebijakan itu diberlakukan, akan efektif menurunkan lonjakan kasus,” kata Maftcuh.
Butuh kemauan
Lantas, apakah secara anggaran pemerintah sanggup untuk menerapkan PSBB, karantina wilayah atau lockdown selama dua pekan?
Dikutip dari laman Sekretariat Kabinet RI, realisasi dari alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DHB) untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp 33,8 triliun, baru mencapai 8,2 persen.
Hal ini diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Rapat Kerja nasional (Rakernas) Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), Sabtu (19/6/2021).
Baca juga: Pak Jokowi, Saatnya Berpihak kepada Wong Cilik…
Sri Mulyani menuturkan, pemerintah membutuhkan sumber daya untuk testing, tracing, hingga biaya operasional kesehatan dari puskesmas, namun ternyata anggarannya belum digunakan.
Berangkat dari data tersebut, Rimawan memperkirakan anggaran yang dibutuhkan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pokok atau logistik masyarakat selama PSBB.
Jika realisasi anggaran penanganan Covid-19 dari DAU dan DBH sebesar 8,2 persen atau Rp 2,7 triliun, maka dana yang tersisa dan bisa digunakan yakni Rp 31,1 triliun.
Kemudian, mengacu pada Basis Data Terpadu TNP2K, jumlah rumah tangga kategori sangat miskin, miskin, dan hampir miskin di Jawa-Bali berjumlah 13,4 juta kepala keluarga.
Seumpama untuk PSBB selama dua minggu pemerintah memberikan Rp 500.000 per kepala keluarga, maka anggaran yang dibutuhkan sebanyak Rp 6,7 triliun.
Dengan demikian, masih ada sisa Rp 24,4 triliun yang bisa digunakan untuk penanganan pandemi selain kebutuhan pokok masyarakat. Misalnya, membangun selter bagi pasien, peningkatan fasilitas kesehatan dan percepatan vaksinasi di daerah.
“Alokasi dana pemerintah itu cukup untuk penanganan covid. Jadi ini banyak kemudian uang yang ada di kabupaten itu enggak dipakai,” kata Rimawan.
Baca juga: Mereka yang Terpaksa Berdamai dengan Pandemi Covid-19 dan Cengkeraman Oligarki...
Menurut Rimawan, tidak banyak pemerintah daerah yang memiliki kemauan untuk merealisasikan kebijakan penanganan pandemi secara serius.
Kesadaran untuk memperkuat sektor kesehatan justru terletak di tingkat kelurahan atau desa. Itu pun belum menyeluruh.
Ia mencontohkan Desa Sumbermulyo, Kabupaten Bantul, yang memiliki selter desa berkapasitas 30-40 tempat tidur dan 16 selter padukuhan atau tingkat RW.
Ada pula Desa Sidomulyo yang memaksimalkan dana desa untuk membiayai kebutuhan warga yang positif covid-19 selama isolasi mandiri.
“Kok itu bisa? Semua tergantung dari tiga huruf. M,a, dan u. Jadi mau atau enggak, itu saja,” ujar Rimawan.
Oleh sebab itu, pemerintah pusat diminta untuk membuat kebijakan yang lebih tegas agar upaya penanganan pandemi di daerah lebih maksimal.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.