JAKARTA, KOMPAS.com - Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi meminta Presiden Joko Widodo segera memanggil dan mengevalusi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo.
Hal ini bertalian dengan pernyataan Tjahjo yang mendukung sikap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mangkir dari panggilan Komnas HAM terkait tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai syarat alih status pegawai menjadi ASN.
"Mendesak agar Presiden Joko Widodo memanggil, meminta klarifikasi, dan mengevaluasi Tjahjo Kumolo atas pernyataan kontroversial yang telah ia sampaikan sebelumnya," kata anggota koalisi, Feri Amsari, dalam keterangannya, Rabu (9/6/2021).
Feri yang juga merupakan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas mengatakan, pernyataan Tjahjo terkesan menganggap enteng polemik TWK.
Menurut dia, sebagai penyelenggara negara, Tjahjo mestinya memahami bahwa TWK yang dilakukan terhadap seluruh pegawai KPK melanggar hukum, mencoreng etika individu, meruntuhkan HAM, dan bertolak belakang dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
"Bahkan pembangkangan atas instruksi presiden. Dengan melontarkan pernyataan itu Tjahjo seolah-olah bertindak sebagai kuasa hukum dari pimpinan KPK," ujar dia.
Anggota koalisi lainnya, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid berpendapat, Kementerian PANRB tidak punya otoritas sama sekali untuk menilai pelanggaran HAM.
Ia mengatakan, sebagaimana diatur dalam Pasal 89 Ayat (1) huruf b UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, otoritas itu berada dalam lingkup kewenangan Komnas HAM.
"Pernyataan Tjahjo itu semakin membuat terang ihwal peta aktor-aktor di balik pelemahan KPK. Sebab, pejabat selevel menteri mustahil tidak mengetahui suatu undang-undang. Karena itu, pernyataan ini terindikasi di luar kepentingan sebagai Menpan RB. Lalu, apa motif Tjahjo melontarkan pernyataan kontroversi tersebut?" ujar dia.
Baca juga: YLBHI Curiga Ada Kepentingan di Balik Pembelaan Tjahjo ke Firli Bahuri
Menurut Usman, Tjahjo semestinya memeriksa keikutsertaan Kementerian PANRB dalam proses peralihan ASN KPK yang tidak sesuai UU KPK hasil revisi Nomor 19 Tahun 2019.
Hal ini merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2015 yang menyatakan bahwa Kementerian PANRB bertugas menyelenggarakan urusan di bidang pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi untuk membantu presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.
"Bukan justru disibukkan dengan memproduksi pernyataan kontroversial," kata Usman.
Diberitakan sebelumnya, Tjahjo Kumolo justru mendukung sikap Firli Bahuri dan kawan-kawan yang tidak mememuhi panggilan Komnas HAM pada Selasa (8/6/2021).
Menurut Tjahjo, tidak ada kaitan antara penyelenggaraan TWK dengan pelanggaran hak asasi manusia.
"Kami juga mendukung KPK misalnya yang tidak mau hadir di Komnas HAM. Apa urusan (tes) kewarganegaraan itu (dengan) urusan pelanggaran HAM?" kata Tjahjo dalam rapat dengan Komisi II DPR.
Baca juga: Saat Menpan-RB Tjahjo Kumolo Samakan TWK KPK dengan Litsus Era Orba
Tjahjo menilai, TWK merupakan hal yang biasa. Ia pun membandingkan dengan pengalamannya mengikuti penelitian khusus (litsus) di era Orde Baru.
Hanya saja, menurut Tjahjo, saat ini pertanyaan yang digali dalam TWK lebih luas, tidak hanya soal keterkaitan seseorang dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) seperti dalam litsus.
"Zaman saya litsus tahun 85 mau masuk anggota DPR itu, dulu kan fokus PKI, sekarang kan secara luas secara kompleks," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.