Pada saat itu, menurut harian Kompas, penembakan bertubi-tubi dilakukan oleh aparat militer terhadap mahasiswa dan masyarakat yang sedang berunjuk rasa menolak Sidang Istimewa MPR yang dinilai sebagai upaya konsolidasi bagi kroni Soeharto.
Dilakukan sejak 15.40 WIB hingga tengah malam, penembakan oleh aparat menyebabkan 253 orang luka-luka dan 17 orang meninggal, termasuk tujuh mahasiswa. Darah berceceran di lokasi unjuk rasa, yakni Universitas Katolik Atma Jaya di kawasan Semanggi yang jaraknya hanya sekitar satu kilometer dari Gedung Kura-Kura.
Baca juga: YLBHI: 12 Kasus Pelanggaran HAM Berat Belum Dapatkan Kepastian Hukum
Melalui laporan Merawat Ingatan Menjemput Keadilan yang diluncurkan oleh Komnas HAM pada 1 Maret 2021, Komnas HAM kembali menuntut pemerintah untuk menyelesaikan Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II, dan 11 kasus pelanggaran HAM berat lainnya.
Kesebelas kasus tersebut ialah Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Wasior Wamena, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet, Peristiwa Simpang KAA 1999, Peristiwa Jambu Keupok 2003, Peristiwa Rumah Geudong 1989-1998, dan Kasus Paniai 2014.
Kedua belas kasus tersebut telah diselidiki oleh Komnas HAM, tetapi laporan penyelidikan Komnas HAM tidak ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung karena perbedaan perspektif hukum.
Alih-alih membela korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat, Presiden Jokowi justru menyakiti perasaan mereka.
Tahun lalu, misalnya, ia mengabulkan permintaan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk mengangkat dua anggota Tim Mawar yang terlibat dalam penculikan aktivis tahun 1997-1998 sebagai pejabat tinggi di Kementerian Pertahanan.
Padahal, kedua perwira TNI tersebut, Dadang Hendrayudha dan Yulius Selvanus, telah divonis bersalah oleh Mahkamah Militer.
Sejauh ini, Presiden Jokowi hanya menyampaikan komitmen untuk menuntaskan masalah HAM di masa lalu. Akan tetapi, komitmen tersebut belum diterjemahkan ke dalam suatu tindakan yang kongkret.
Ketika merayakan momen-momen tertentu, seperti peringatan Hari HAM pada 10 Desember, Presiden Jokowi menggunakan isu hak asasi manusia hanya sebagai komoditas politik untuk menjaga popularitas dan citranya, dan meningkatkan elektabilitasnya ketika mengikuti pemilu presiden pada 2014 dan 2019.
Menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu itu penting bagi masyarakat untuk mencegah pelanggaran serupa terjadi di masa depan, dan juga penting bagi korban dan keluarga korban untuk memberi rasa adil dan memulihkan hak-haknya.
Sebagai warga negara, korban pelanggaran HAM memiliki hak berkumpul dan berserikat. Akan tetapi, mereka masih diganggu, diteror, dan diancam oleh aparat dan organisasi masyarakat tertentu.
Korban tragedi 1965-1966, misalnya, masih belum bisa hidup bebas dari represi, wasangka, dan stigma akibat langgengnya isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI). Padahal, tidak pernah ditemukan indikasi kebangkitan partai berlambang palu arit itu di Indonesia.
Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 telah menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang sehingga partai ini tidak mungkin bisa hidup lagi di Indonesia.
Namun hingga saat ini, masih ada warga yang mempercayai isu kebangkitan PKI walaupun jumlahnya tidak banyak. Menurut hasil survei nasional Saiful Munjani Research and Consulting pada 23-26 September 2020, hanya 14 persen warga Indonesia percaya bahwa PKI saat ini telah bangkit.