Hal tersebut juga mengindikasikan pembakarannya masih kurang sempurna dan relatif tidak stabil.
"Sehingga masih dikategorikan sebagai limbah B3," ujar Vivien.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo mengeluarkan limbah batu bara dari kategori limbah B3 melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
PP tersebut merupakan salah satu turunan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Lampiran 14 PP menyebut bahwa jenis limbah batu bara yang dihapus dari kategori limbah B3 adalah fly ash dan bottom ash, kecuali dari kegiatan yang menggunakan stoker boiler.
Keputusan tersebut pun memicu protes dari masyarakat dan para pemerhati lingkungan.
Jaringan Advokasi Tambang ( Jatam) menilai, kebijakan Presiden tersebut merupakan kejahatan sistematis untuk masyarakat pesisir.
Koordinator Jatam Merah Johansyah menjelaskan, keberadaan limbah bottom ash dan flying ash yang dikeluarkan dari kategori limbah B3, berpotensi mencemari sungai dan laut yang menjadi pusat kehidupan masyarakat pesisir.
"Limbah ini kalau tercemar ke air membuat biota ikan mati, itu terjadi baik di masyarakat yang hidup di pesisir sungai dan laut. Padahal 82 persen perusahaan batu bara di Indonesia letaknya di wilayah pesisir. Jadi ini kejahatan sistematis pemerintah pada masyarakat pesisir," jelas Merah dihubungi Kompas.com, Jumat (12/3/2021).
Hal tersebut dinilainya akan berdampak pada masyarakat seperti nelayan, kelompok perempuan, dan masyarakat adat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.