"Kualifikasi sebuah perbuatan dianggap sebagai tindak pidana pada ekspresi, sangat sulit memiliki standar interpretasi yang tegas dan memiliki kepastian hukum," kata Erasmus.
Akibatnya, Erasmus menuturkan, penetapan pedoman interpretasi justru membuka ruang baru bagi praktik kriminalisasi.
"Pedoman interpretasi resmi terhadap UU ITE merupakan langkah yang tidak menyelesaikan akar permasalahan," tuturnya.
Sementara itu pembentukan Koalisi masyarakat sipil menilai pembentukan Tim Kajian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE) tak akan membuahkan hasil karena tidak dilibatkannya pihak independen.
Baca juga: Tak Libatkan Pihak Independen, Tim Kajian UU ITE Diyakini Tak Buahkan Hasil
"Pertama, tidak adanya keterlibatan pihak independen yang dapat melihat implikasi UU ITE pada pelanggaran hak-hak asasi warga," ujar Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur dalam keterangan tertulis, Selasa (23/2/2021).
Adapun pihak independen yang dimaksud Isnur, misalnya Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Menurut Isnur, peran Komnas HAM sangat dibutuhkan karena selama ini aktif menerima aduan terkait pelanggaran pasal karet UU ITE.
Di samping itu, Isnur mengatakan, tidak dilibatkannya pihak independen juga dikhawatirkan akan melanggengkan adanya pasal-pasal karet. Dengan begitu, Tim Kajian UU ITE diyakini akan berat sebelah dalam melakukan kajian.
"Terutama menitikberatkan pada aspek legalistik formal dan mengabaikan/menutupi adanya situasi ketidakadilan yang selama ini timbul akibat diberlakukannya pasal-pasal karet di dalam UU ITE," ucap Isnur.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.