Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keabsahan Pedoman Interpretasi UU ITE Dipertanyakan

Kompas.com - 18/02/2021, 23:37 WIB
Rakhmat Nur Hakim

Penulis

 

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum pidana Suparji Ahmad menilai langkah pemerintah yang mulanya mewacanakan revisi Undang-undang (UU) No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), kemudian menggantinya dengan menyusun pedoman interpretasi resmi terhadap beleid tersebut tidak tepat.

Hal itu disampaikannya dalam diskusi daring bertajuk 'Seberapa Pentingkah Revisi UU ITE', Kamis (18/2/2021).

"Persoalannya adalah dalam konteks hierarki peraturan perundang-undangan itu tidak ada metode interpretasi atau kemudian norma yang disebut interpretasi," kata Suparji sebagaimana dikutip dari Tribunnews.com.

Baca juga: Demokrat Pertanyakan Dasar Pemerintah Buat Pedoman Interpretasi UU ITE

Suparji mengatakan sejatinya di dalam proses hukum dikenal adanya metode inerpretasi atau metode penafsiran dan metode historis.

Namun, Suparji berpendapat yang dimaksud Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sebagai pedoman interpretasi lebih tepat dikatakan petunjuk teknis pelaksanaan UU.

Sebabnya tak ada produk hukum yang berupa pedoman interpretasi atas suatu UU yang lazim digunakan pada proses penafsiran dalam suatu proses hukum terhadap kasus tertentu.

"Tetapi dan sesungguhnya petunjuk teknis ini adalah nanti akan kembali kepada aparat penegak hukum. Apakah di sini akan keluar sebuah surat keputusan bersama untuk melaksanakan Undang-Undang ini? Misalnya secara selektif agar tidak terjadi semacam ketidakadilan? Ini yang harus diperjelas," ujarnya.

Lebih lanjut, Suparji menilai niat dari Kominfo sebaiknya diubah untuk membuat kesepakatan bersama.

Misalnya Kominfo, Kepolisian, dan Kejaksaan membuat kesepakatan untuk bersama-sama mengawal penerapan hukum secara progresif untuk menerapkan restorative justice dalam penerapan UU ITE.

Baca juga: ICJR: Revisi UU ITE Harus Menghilangkan Pasal Karet Bukan Membuat Pedoman Interpretasi

"Saya kira akan lebih efektif untuk menciptakan keadilan dalam proses penegakan hukum bukan dengan cara membuat interpretasi. Tetapi bagaimana memuat kesepakatan di antara Kominfo (dan Polri) yang memiliki otoritas di bidang informasi elektronik," ucap dia.

"Atau perlu ada penerapan hukum secara progresif bukan dengan membuat semacam metode interpretasi karena itu akan membuat adanya sebuah kesimpangsiuran tentang posisi sebenarnya ada di mana interpretasi UU ITE itu," lanjut dia.

Sebelumnya, Menkominfo Johnny G Plate menyebutkan, pemerintah segera menyusun pedoman interpretasi resmi terhadap UU ITE. Langkah ini dilakukan sebagai tindak lanjut dari arahan Presiden Joko Widodo.

"Pemerintah dalam hal ini Mahkamah Agung, Kepolisian, Kejaksaan, dan Kementerian Kominfo akan membuat pedoman intepretasi resmi terhadap UU ITE agar lebih jelas dalam penafsiran," kata Johnny kepada Kompas.com, Selasa (16/2/2021).

Dalam arahannya, Presiden menghendaki agar implementasi UU ITE berjalan adil. Baca juga: YLBHI: Revisi UU ITE Seharusnya Jadi Prioritas Kepala Negara juga mengingatkan agar pemerintah berhati-hati terhadap pasal-pasal yang bisa dimaknai secara multitafsir.

Baca juga: Tanggapi Menkominfo, Praktisi Hukum: Pedoman Interpretasi UU ITE Bukan Produk Hukum

 

Jika UU ITE tak memenuhi prinsip keadilan, terbuka peluang untuk merevisinya. Namun, kata Johnny, hal yang perlu segera disiapkan saat ini yakni pedoman interpretasi resmi terhadap UU ITE. Hal ini demi menjamin kesamaan penafsiran terhadap UU tersebut.

"Pemerintah akan secara lebih selektif menyikapi dan menerima pelaporan pelanggaran UU ITE dan pasal-pasal yang bisa menimbulkan multitafsir diterjemahkan secara hati-hati," ujar dia.

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Pakar Hukum Tak Setuju Rencana Kominfo Buat Pedoman Interpretasi UU ITE

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Mendagri Serahkan Data Pemilih Potensial Pilkada 2024, Jumlahnya 207,1 Juta

Mendagri Serahkan Data Pemilih Potensial Pilkada 2024, Jumlahnya 207,1 Juta

Nasional
Hardiknas 2024, Fahira Idris: Perlu Lompatan Peningkatan Kualitas Pengajaran hingga Pemerataan Akses Pendidikan

Hardiknas 2024, Fahira Idris: Perlu Lompatan Peningkatan Kualitas Pengajaran hingga Pemerataan Akses Pendidikan

Nasional
Sadar PTUN Tak Bisa Batalkan Putusan MK, PDI-P: Tapi MPR Punya Sikap untuk Tidak Melantik Prabowo

Sadar PTUN Tak Bisa Batalkan Putusan MK, PDI-P: Tapi MPR Punya Sikap untuk Tidak Melantik Prabowo

Nasional
Surya Paloh Sungkan Minta Jatah Menteri meski Bersahabat dengan Prabowo

Surya Paloh Sungkan Minta Jatah Menteri meski Bersahabat dengan Prabowo

Nasional
Anies Respons Soal Ditawari Jadi Menteri di Kabinet Prabowo atau Tidak

Anies Respons Soal Ditawari Jadi Menteri di Kabinet Prabowo atau Tidak

Nasional
Ajukan Praperadilan Kasus TPPU, Panji Gumilang Minta Rekening dan Asetnya Dikembalikan

Ajukan Praperadilan Kasus TPPU, Panji Gumilang Minta Rekening dan Asetnya Dikembalikan

Nasional
KPU Bantah Tak Serius Ikuti Sidang Sengketa Pileg Usai Disentil Hakim MK: Agenda Kami Padat...

KPU Bantah Tak Serius Ikuti Sidang Sengketa Pileg Usai Disentil Hakim MK: Agenda Kami Padat...

Nasional
Sedih karena SYL Pakai Duit Kementan untuk Keperluan Keluarga, Surya Paloh: Saya Mampu Bayarin kalau Diminta

Sedih karena SYL Pakai Duit Kementan untuk Keperluan Keluarga, Surya Paloh: Saya Mampu Bayarin kalau Diminta

Nasional
Hari Tuna Sedunia, Kementerian KP Siap Dorong Kualitas, Jangkauan, dan Keberlanjutan Komoditas Tuna Indonesia

Hari Tuna Sedunia, Kementerian KP Siap Dorong Kualitas, Jangkauan, dan Keberlanjutan Komoditas Tuna Indonesia

Nasional
Sebut Suaranya Pindah ke PDI-P, PAN Minta Penghitungan Suara Ulang di Dapil Ogan Komering Ilir 6

Sebut Suaranya Pindah ke PDI-P, PAN Minta Penghitungan Suara Ulang di Dapil Ogan Komering Ilir 6

Nasional
Jokowi Teken UU Desa Terbaru, Kades Bisa Menjabat Hingga 16 Tahun

Jokowi Teken UU Desa Terbaru, Kades Bisa Menjabat Hingga 16 Tahun

Nasional
Soal Lebih Baik Nasdem Dalam Pemerintah atau Jadi Oposisi, Ini Jawaban Surya Paloh

Soal Lebih Baik Nasdem Dalam Pemerintah atau Jadi Oposisi, Ini Jawaban Surya Paloh

Nasional
Sentil Pihak yang Terlambat, MK: Kalau di Korea Utara, Ditembak Mati

Sentil Pihak yang Terlambat, MK: Kalau di Korea Utara, Ditembak Mati

Nasional
Giliran Ketua KPU Kena Tegur Hakim MK lantaran Izin Tinggalkan Sidang Sengketa Pileg

Giliran Ketua KPU Kena Tegur Hakim MK lantaran Izin Tinggalkan Sidang Sengketa Pileg

Nasional
Panji Gumilang Gugat Status Tersangka TPPU, Sebut Polisi Tak Penuhi 2 Alat Bukti

Panji Gumilang Gugat Status Tersangka TPPU, Sebut Polisi Tak Penuhi 2 Alat Bukti

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com