JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyinggung suasana demokrasi ketika Jusuf Kalla menjabat Wakil Presiden ke-12, atau periode 2014-2019.
Hal ini berangkat dari pertanyaan Kalla mengenai bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi yang dilontarkannya dalam Mimbar Demokrasi Partai Keadilan Sejahtera, Jumat (12/2/2021).
"Zaman Pak JK itu, kita masih ingat ada misalnya Saracen, Muslim Cyber Army, ada Piyungan yang hampir setiap hari menyerang pemerintah," kata Mahfud dalam rekaman video Humas Kemenko Polhukam, Minggu (14/2/2021).
"Kan ada di zaman Pak JK juga, ketika mau ditindak orang ribut, ketika tidak ditindak juga orang ribut. Inilah demokrasi," kata dia lagi.
Baca juga: Singgung Balik Kalla, Mahfud MD: Zaman Pak JK Itu Ada Saracen, Muslim Cyber Army, Piyungan...
Mahfud mengatakan, dalam perjalanannya, pemerintah telah menyerap masukan yang sifatnya kritik untuk kemudian dipertimbangkan dalam pengambilan kebijakan.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini juga menegaskan, pihaknya tak bisa melarang orang melapor ke polisi.
Ia lantas mencontohkan laporan polisi yag dilayangkan keluarga Kalla.
"Bahkan juga keluarga Pak JK melapor ke polisi. Siapa itu? Ferdinand Hutahaean dilaporkan ke polisi karena nyebut apa?" ujar Mahfud.
Laporan yang dimaksud yakni laporan dari putri kedua Kalla, Muswirah Jusuf Kalla.
Muswirah melaporkan eks kader Partai Demokrat, Ferdinand Hutahean serta pemerhati sosial dan politik, Rudi S Kamri ke Bareskrim Polri pada awal Desember 2020.
Keduanya dilaporkan putri Kalla atas dugaan pencemaran nama melalui media sosial.
Baca juga: Jusuf Kalla: Para Buzzer Antikritik, Ini Bertentangan dengan Jokowi
Kendati demikian, Mahfud juga menilai, pernyataan Kalla tersebut bukan bermaksud setiap kritik yang disampaikan masyarakat kepada pemerintah akan berujung pelaporan.
"Konteksnya pernyataan Pak Jusuf Kalla, bukan Pak Jusuf Kalla, itu ingin mengatakan sekarang ini kalau ngritik takut dipanggil polisi. Nyatanya juga tidak gitu," ujar Mahfud.
Sentil buzzer
Sementara itu, beberapa hari setelah pertanyaannya mengemuka, Kalla menyadari ada dinamika di tengah masyarakat.
Akan tetapi, Kalla menyoroti pihak-pihak yang salah menafsirkan pertanyaannya, terutama dari kelompok buzzer atau pendukung setia Presiden Joko Widodo.
"Itu murni pertanyaan dan banyak menanggapinya secara berbeda-beda, terutama buzzer-buzzer ini kan. Ini kesannya bertanya saja tidak boleh, apalagi mengkritik. Padahal, pertanyaan saya sederhana sekali, yaitu bagaimana caranya mengkiritik?" ujar Kalla dalam keterangan tertulis, Senin (15/2/2021).
Baca juga: Singgung Buzzer, Kalla: Kesannya Bertanya Saja Tidak Boleh, apalagi Mengkritik
Kalla menuding buzzer antikritik terhadap masukan yang disampaikan masyarakat.
"Jadi apakah saya salah kalau mengajukan suatu pertanyaan? Dari situ bisa lihat karakter mereka (buzzer) yang mempersoalkan pertanyaan tersebut. Artinya mereka antikritik dan bertentangan dengan Jokowi, para buzzer-buzzer itu," ucap Kalla.
Ia juga meminta supaya pendukung setia Jokowi sejalan dengan keinginan presiden yang meminta masyarakat untuk mengkritiknya.
Hal itu penting dilakukan kendati Jokowi tidak menjelaskan bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi.
Karena tidak adanya penjelasan itulah Kalla mengajukan pertanyaan tersebut.
"Sekarang Presiden sendiri yang membuka peluang untuk kritik itu dan itu bagus sekali. Tapi caranya harus dijelaskan supaya baik untuk pemerintah dan baik untuk masyarakat. Jadi apakah saya salah kalau mengajukan suatu pertanyaan?" kata Kalla.
Kegelisahan masyarakat
Kalla mengatakan, pertanyaan tersebut sebetulnya mewakili kegelisahan masyarakat.
Terlebih lagi, pertanyaan itu juga untuk kebaikan pemerintah itu sendiri.
Baca juga: Jusuf Kalla Dorong Masjid Jadi Tempat Kegiatan Ekonomi, Selain Ibadah
Karena itu, Kalla berharap supaya semua pihak tidak usah terlalu reaktif menanggapi pertanyaannya.
Sejalan dengan itu, Kalla menyatakan, jika roda pemerintahan ingin berjalan secara demokratis, penting dilakukannya check and balancing.
"Apabila pemerintahan ingin berjalan secara demokratis, maka penting ada check and balancing dan apa yang saya kemukakan itu berwujud pertanyaan dan itu wajar, bahwa bagaimana dong caranya mengkritik tanpa dipanggil polisi?" ucap dia.
Kritik sesuai aturan
Sementara itu, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman menjelaskan, jika masyarakat ingin menyampaikan kritik tanpa berurusan dengan aparat penegak hukum, kritik harus dikemukakan sesuai aturan.
"Jadi apabila mengkritik sesuai UUD 1945 dan peraturan perundangan, pasti tidak ada masalah. Karena kewajiban pemerintah/negara adalah melindungi, memenuhi dan menghormati hak-hak konstitusional setiap WNI yang merupakan HAM tanpa kecuali," ujar Fadjroel dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Sabtu (13/2/2021).
Dia menyebut, sikap Presiden Jokowi atas kritik dan masukan tegak lurus dengan Konstitusi UUD 1945 dan peraturan perundangan yang berlaku.
Oleh karena itu, Fadjroel menyarankan, masyarakat perlu mempelajari secara saksama sejumlah aturan.
Baca juga: JK: Negara akan Jadi Otoriter Jika Tak Ada Kritik Akademisi
Pertama, UUD 1945 Pasal 28E Ayat 3 yang berbunyi, "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat".
Lalu, pasal 28J yang berbunyi, "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang drngan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis."
"Kemudian, kalau memasuki media digital, baca dan simak UU Nomor 19/2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik," ujar Fadjroel.
"Perhatikan baik-baik ketentuan pidana Pasal 45 Ayat (1) tentang muatan yang melanggar kesusilaan, Ayat (2) tentang muatan perjudian, Ayat (3) tentang muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, Ayat (4) tentang muatan pemerasan dan/atau pengancaman," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.