JAKARTA, KOMPAS.com - Gerakan Anti Radikalisme (GAR) Institut Teknologi Bandung (ITB) melaporkan mantan Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsudin ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Din dilaporkan atas dugaan pelanggaran disiplin pegawai negeri sipil (PNS). Laporan tersebut disampaikan GAR ITB pada 10 November 2020.
Berikut beberapa fakta terkait pelaporan Din Syamsudin oleh GAR ITB:
Alasan pelaporan
Berdasarkan halaman pertama surat laporan GAR ITB, Din Syamsudin diduga melakukan enam pelanggaran yakni pertama, Din dinilai bersikap konfrontatif terhadap lembaga negara dan keputusannya.
Baca juga: Mahfud MD: Din Syamsuddin Tokoh Kritis, Tak Akan Diproses Hukum
Kedua, Din dinilai mendiskreditkan pemerintah dan menstimulasi perlawanan terhadap pemerintah yang berisiko terjadinya proses disintegrasi negara.
Ketiga, Din dinilai melakukan framing menyesatkan pemahaman masyarakat dan menciderai kredibilitas pemerintah.
Keempat, Din dinilai menjadi pimpinan dari kelompok beroposisi pemerintah.
Kelima, Din dinilai menyebarkan kebohongan, melontarkan fintah, serta mengagitasi publik agar bergerak melakukan perlawanan terhadap pemerintah.
Laporan diteruskan ke Satgas dan Kementrian Agama
Kepala KASN Agus Pramusinto mengaku sudah meneruskan laporan dari GAR ITB itu pada Satgas Pengananan Radikalisme dan Kementerian Agama.
Agus menyebut, pihaknya akan berkoordinasi dengan dua pihak tersebut terkait pelaporan pada Din Syamsudin.
"KASN sudah meneruskan laporan GAR ITB ke Satgas dan Kementrian Agama. Saya kira akan ada koordinasi dan membuat satu kebijakan yang sama," konfirmasi Agus pada Kompas.com, Minggu (14/2/2021).
Dibela dua menteri
Pelaporan kapada Din Syamsudin terkait dugaan pelanggaran kode etik PNS mendapat respons dari dua Menteri.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhuma) Mahfud MD menilai, Din Syamsuddin adalah seorang tokoh yang kritis dan harus didengar.
Baca juga: Mahfud MD: Din Syamsuddin Tokoh Kritis, Tak Akan Diproses Hukum
Mahfud memastikan, pemerintah tidak berniat melakukan sanksi hukum pada Din Syamsuddin.
"Beliau itu penggagas negara terbentuk karena kesepakatan. Kalau menurut Nahdatul Ulama (NU) Darul Ahdi. Kalau menurut Muhammadiyah Darul Ahdi. Sama, itu artinya negara yang hadir karena kesepakatan lintas etnis, agama dan sebagainya" tutur Hamfud MD pada video yang diterima Kompas.com, Minggu (14/2/2021).
Mahfud lebih jauh mengatakan bahwa Din bahkan pernah diberi tugas oleh pemerintah untuk melakukan perjalanan keliling dunia untuk menyampaikan Islam yang damai.
"Pemerintah tetap menganggap Pak Din Syamsudin tokoh yang kritis. Yang kritik-kritiknya harus kita dengar. Coba kapan pemerintah pernah menyalahkan pernyataan Pak Din Syamsudin apalagi sampai memproses secara hukum? Ndak pernah, dan insya Allah tidak akan pernah karena kita anggap beliau itu tokoh," papar Mahfud.
Tanggapan tersebut juga disampaikan Menteri Agama (Meneg) Yaqut Cholil yang meminta semua pihak tidak mudah berprasangka tentang seseorang dengan paham radikal tertentu.
Baca juga: Tanggapi Laporan Alumni ITB terhadap Din Syamsuddin, Menag: Jangan Mudah Beri Label Radikal
Yaqut menilai, pemberian stigma radikal pada seseorang dapat terjadi karena kurangnya informasi dan data yang menghadapi pada sikap dan perilaku orang lain.
"Saya tidak setuju jika seseorang langsung dikatakan radikal. Kritis beda dengan radikal," katanya secara tertulis pada situs Kemenag, Sabtu (14/2/2021).
Meski demikian, Yaqut menyebut bahwa berpolitik memang merupakan pelanggaran untuk ASN, namun menyampaikan kritik adalah suatu hal yang sah.
"Berpolitik memang bisa jadi pelanggaran seorang ASN. Namun soal lontaran kritik sah-sah saja sebagaimana yang disampaikan oleh presiden Jokowi bahwa kritik itu tidak dilarang," kata Yaqut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.