JAKARTA, KOMPAS.com – Nahdlatul Ulama (NU) genap berusia 95 tahun pada Minggu (31/1/2021).
Sejumlah petinggi negeri mulai dari Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Ma’ruf Amin, hingga Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengucapkan selamat kepada Ormas Islam tersebut.
Perjalanan NU selama 95 tahun turut memberikan warna terhadap perjalanan Bangsa Indonesia dari mulai zaman perjuangan nasional, masa awal kemerdekaan, hingga bergantinya rezim dari Presiden Soekarno ke Presiden Jokowi.
Baca juga: Refleksi Harlah Ke-95 NU: Tantangan dan Harapan
NU yang didirikan KH Hasyim Asy’ari pada 31 Januari 1926 kini telah berkembang pesat dengan jejaring pesantren, sekolah, universitas, dan rumah sakitnya yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Cikal Bakal
Adapun penggunaan istilah "Nahdlatul" atau "Kebangkitan" kali pertama muncul pada 1916. Pembentukan ini dibarengi untuk menunjukan respons positif terhadap Kebangkitan Nasional pada 1908, yang menjadi momentum pergerakan di Indonesia.
Awalnya, organisasi ini bernama "Nahdlatul Wathan" yang berarti "Kebangkitan Tanah Air". Pada 1916, muncul organisasi lain bernama "Taswirul Afkar" atau lebih dikenal sebagai "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran).
Setelah itu, berdirilah Nahdalatul Tujjar untuk menghimpun pergerakan para saudagar pada era kolonial.
Setelah muncul beberapa organisasi ini, ada insiatif untuk menggabungkannya. Tujuannya adalah agar organisasi lebih kuat dan cakupannya lebih luas. Akhirnya, disepakati berdirinya "Nahdlatul Ulama" atau "Kebangkitan Ulama" pada 31 Januari 2016. KH Hasyim Asy'ari dipercaya sebagai Rais Akbar.
Baca juga: Di Harlah NU ke-95, Megawati Teringat saat Bung Karno Diberi Gelar oleh NU
Kontribusi di zaman perjuangan
Kontribusi NU kepada Bangsa Indonesia tak hanya di bidang pendidikan keagamaan lewat jaringan pesantren yang dimiliki.
Di awal masa kemerdekaan atau revolusi fisik antara Indonesia dengan Belanda dan sekutu yang masih ingin merebut kekuasaan, NU memberikan sumbangsih yang sangat besar.
Saat itu pada Oktober 1945, para tentara Belanda yang mendompleng tentara Inggris berupaya merebut kemerdekaan yang telah diproklamirkan Indonesia.
Para kiai NU pun tak tinggal diam. Mereka menginisiasi pertemuan untuk menentukan sikap terhadap kehadira Belanda dan sekutu yang hendak merebut kemerdekaan Indonesia.
Hasil dari pertemuan tersebut, Pada 22 Oktober 1945, KH Hasyim Asy'ari menyerukan imbauan kepada para santri untuk berjuang demi Tanah Air.
Baca juga: Mahfud MD: Indonesia Bersyukur Punya NU
Resolusi itu disampaikan kepada pemerintah dan umat Islam Indonesia untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan bangsa. Hasilnya, resolusi ini membawa pengaruh yang besar.
Resolusi itu kemudian dikenal dengan nama resolusi jihad, yang artinya berperang dalam rangka mempertahankan kemerdekaan sama dengan berjuang di jalan Allah.
Untuk menghormati sumbangsih para santri tersebut, pemerintah menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.
Berkiprah di politik praktis
NU memulai kiprahnya di awal zaman kemerdekaan dengan terjun ke politik praktis. Saat itu NU tergabung di dalam partai politik yang menjadi wadah bagi seluruh golongan umat Islam yakni Masyumi.
Namun, NU kemudian keluar dari Masyumi pada 1952 akibat ada ketidaksepahaman. Hal itu dipicu dengan terpinggirkannya para kiai dan ulama NU dalam struktur kepengurusan Masyumi.
Baca juga: Harlah ke-95 NU, Wapres: NU Memegang Teguh Amanah Kebangsaan
Saat itu para kiai dan ulama NU banyak yang duduk di Majelis Syuro Masyumi. Namun kemudian kewenangan Majelis Syuro dipangkas hanya sebatas memberikan konsultasi, bukan menentukan keputusan partai.
Alhasil banyak warga NU yang tak terima lantaran merasa para kiai dan ulama mereka tak lagi dianggap penting di dalam struktur kepengurusan Masyumi.
NU pun memutuskan untuk keluar dari Masyumi dan mendirikan partai sendiri. Pada pemilu 1955 NU kian memantapkan posisinya di kancah politik nasional sebagai peraih suara terbanyak ketiga.
Wakil-wakilnya juga berhasil mendukuki sejumlah kabinet pemerintahan ketika itu. Dalam Pemilu 1971, NU bahkan berhasil pada urutan kedua di bawah Golkar. Mereka akhirnya menikmati fasilitas dan kemudahan dari pemerintah ketika itu.
Namun konsep ini pun menjadi kendala ketika Soeharto menerapkan penyederhanaan jumlah partai politik yang menyebabkan hanya ada tiga partai yakni Golkar, PPP, dan PDI. Akibatnya, anggota NU banyak yang berafiliasi ke dalam PPP untuk kepentingan politiknya.
Baca juga: PDI-P Gelar Harlah NU ke-95, Bakal Dihadiri Megawati hingga Gus Miftah
Sempat terbelah
Perjalanan NU hingga 95 tahun eksis sebagai Ormas Islam di Indonesia tak selamanya mulus. NU pun pernah diterpa konflik internal yang cukup mengancam eksistensi mereka.
Menjelang pelaksanaan Muktamar ke-27, para pemimpin NU terbelah menjadi dua kubu. Dilansir dari nu.or.id, Kubu Cipete bermuara pada Ketua Umum PBNU KH Idham Cholid dan kubu Situbondo yang bermuara KH.R. As'ad Syamsul Arifin.
Kondisi ini terjadi sepeninggal Rais mereka meninggal, yakni Bisri Syansuri pada 1980. Akibatnya, kedua kubu membuat munas masing-masing. Kubu Situbondo menggelar Munas dengan menunjuk Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagai ketua panitia Muktamar ke-27.
Kubu Cipete juga tak kalah menggelar Munas dengan menunjuk Cholid Mawardi sebagai ketua panitia. Dalam suasana politik Orde Baru, pemerintah lebih mengakui hasil Munas Situbondo karena dianggap lebih konseptual ketimbang Cipete yang dianggap bermuatan politik.
Namun setelah melihat sikap pemerintah mendukung kubu Situbondo, kubu Cipete mulai melunak. Akhirnya, kubu ini disatukan pada September 1984.
Baca juga: Harlah NU ke-95, Megawati Janji Teruskan Kedekatan Bung Karno dengan Kiai dan Warga Nahdliyin
Kembali ke khittah
Perjalanan NU sebagai Ormas Islam yang berpengaruh terus mengalami pasang surut. Perubahan demi perubahan terus terjadi pada Ormas Islam yang didirikan KH Hasyim Asy’ari itu.
Perubahan mendasar yang sangat memengaruhi pergerakan NU ke depannya ialah saat Ormas Islam tersebut memutuskan untuk kembali ke khittah dengan keluar dari politik praktis.
Mengutip nu.or.id, misi memgembalikan NU ke khittah sebagai Ormas keagamaan yang tak dipengaruhi politik praktis dimulai secara gencar sekitar tahun 1983.
Gerakan megembalikan NU ke khittah sehingga tak terikat dengan politik praktis dimulai lewat tulisan KH Achmad Siddiq yang berisi tentang pokok-pokok pikiran tentang pemulihan Khittah NU 1926.
Tulisan ini dirembug secara terbatas dengan para ulama sepuh di kediaman KH Masykur di Jakarta.
Baca juga: Harlah Ke-95 NU, Bagaimana Sejarah Pendirian Nahdlatul Ulama?
Naskah tulisan tentang gerakan mengembalikan NU ke khittah dibacakan dalam penyelenggaraan Munas NU tahun 1983 di Situbondo, Jawa Timur.
Naskah itu mendapat sambutan yang baik dari seluruh peserta Munas dan dijadikan sebagai dokumen resmi Munas untuk menetapkan secara sah keputusan NU untuk kembali ke khittah.
Pada Muktamar 1984, NU dibawah kepemimpinan KH Achmad Siddiq sebagai Rais Aam Syuriah dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Ketua Umum PBNU, resmi mengembalikan organisasi ke khittah awal tahun 1926.
Keputusan NU kembali ke khittah menjadi landasan utama bagi NU dalam bersikap. Kendati demikian di era reformasi hingga kini, banyak partai yang mengatasnamakan NU sebagai basis massanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.