JAKARTA, KOMPAS.com - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat 351 kasus pelanggaran hak dan kebebasan sipil yang tersebar di berbagai daerah selama 2020.
Ketua Bidang Pengembangan Organisasi YLBHI Febionesta mengatakan, kasus-kasus ini didominasi oleh pelanggaran hak berekspresi dan menyatakan pendapat di muka umum.
"Termasuk di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Riau, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Papua," kata Febionesta, saat menyampaikan Laporan Hukum dan HAM Tahun 2020 YLBHI, Selasa (26/1/2021).
Baca juga: YLBHI: Polisi Terlibat di 80 Persen Pelanggaran Prinsip Fair Trial Tahun 2020
YLBHI dan kantor LBH di seluruh Indonesia mencatat pelanggaran tersebut meliputi lima pelanggaran.
Pertama, pelanggaran hak berekspresi atau berpendapat secara lisan. Pelanggaran ini menduduki persentase tertinggi, yaitu 26 persen.
Kedua, pelanggaran hak menyampaikan pendapat melalui unjuk rasa dengan persentase 25 persen.
Ketiga, pelanggaran hak berekspresi atau berpendapat secara digital dengan persentase 17 persen.
Berikutnya ada pelanggaran hak mencari dan menyampaikan informasi dengan 16 persen. Kemudian pelanggaran terhadap data pribadi sebanyak 16 persen.
Baca juga: YLBHI: Kasus Pelanggaran Fair Trial Turun di 2020, tapi Korban Meningkat
Terkait hak berekspresi dan berpendapat, Febionesta mengungkapkan, sebagian besar atau 48 persen pelanggaran dilakukan oleh aktor negara.
"Dalam hal ini kepolisian, itu menjadi aktor pelaku pelanggaran utama, di samping ada pelibatan militer," ujarnya.
Sementara itu, untuk aktor non-negara mengambil porsi kecil dari seluruh pelanggaran yang terjadi.
Ia mengatakan, YLBHI melihat ada keterlibatan institusi pendidikan dan organisasi masyarakat (ormas) tertentu sebagai aktor pelaku non-negara.
"Ada ormas tertentu yang kemudian menghalangi atau membatasi hak berekspresi dan berpendapat di muka umum," tutur dia.
Baca juga: YLBHI: Penanganan Pandemi Buruk, tetapi Masyarakat yang Kerap Disalahkan
Kemudian, YLBHI juga melihat kriminalisasi menempati urutan tertinggi dalam modus pelanggaran terhadap hak berekspresi dan kebebasan berpendapat.
Adapun persentase modus pelanggaran dengan cara kriminalisasi sebanyak 53 persen. Selanjutnya ancaman pemberian sanksi 18 persen, dan tidak diberikan hak informasi sebanyak 12 persen.
"Dalam hal ini, kriminalisasi melibatkan pihak kepolisian. Maka sejalan dengan aktor atau pelaku utama dari negara tadi adalah kepolisian," jelasnya.
"Lalu ada juga tidak diberikan hak informasi atau dibatasi atau dilanggar hak menyampaikan informasinya. Peretasan konten, peretasan akun, cyber bullying, dan ada juga ancaman pemberian sanksi," sambung dia.
Berdasarkan data tersebut, Febionesta menuturkan bahwa masih ada pendekatan represif oleh negara.
Hal ini, kata dia, berdampak pada semakin sempitnya ruang masyarakat sipil dan mengancam prinsip demokrasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.