JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menegaskan, peradilan di Indonesia sedang tidak dalam kondisi kolaps, sehingga dianggap tidak mampu menangani kasus kematian enam laskar Front Pembela Islam (FPI).
Karena itu, Komnas HAM tak yakin laporan kematian enam laskar FPI ke International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, sampai ke pengadilan internasonal.
"Mekanisme peradilan Indonesia tidak sedang dalam keadaan kolaps sebagaimana disyaratkan Pasal 17 Ayat (2) dan Ayat (3) Statuta Roma," ujar Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik dalam keterangan tertulis, Senin (25/1/2021).
Baca juga: Komnas HAM Tak Yakin Laporan Kematian 6 Laskar FPI Sampai ke Pengadilan Internasional
Adapun pelaporan ini dilakukan Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) atas tewasnya enam laskar FPI yang digawangi Amien Rais dan koleganya.
Pelaporan berangkat dari kekecewaannya atas temuan Komnas HAM dalam investigasi kasus ini.
Taufan menjelaskan, Mahkamah Internasional bekerja bukan sebagai peradilan pengganti atas sistem pradilan nasional suatu negara.
Mahkamah Internasional baru akan bekerja jika negara anggota Statuta Roma mengalami kondisi "unwilling" dan "unable".
Baca juga: Kasus Penembakan Anggota FPI yang Jadi Batu Ujian Pertama Komjen Listyo Sigit
Berdasarkan Pasal 17 Ayat (2) Statuta Roma menjabarkan, "unwilling" atau kondisi tidak bersungguh-sungguh adalah kondisi jika negara anggota dinyatakan tidak mempunyai kesungguhan dalam menjalankan pengadilan.
Sedangkan, dalam Pasal 17 Ayat (3) Statuta Roma menyebutkan, "unable" atau kondisi dianggap tidak mampu adalah suatu kondisi di mana telah terjadi kegagalan sistem pengadilan nasional secara menyeluruh atau sebagian.
Akibat kegagalan tersebut, sistem peradilan di negara tersebut tidak mampu menghadirkan tertuduh atau bukti dan kesaksian yang dianggap perlu untuk menjalankan proses hukum.
Baca juga: Kuasa Hukum FPI Heran Komnas HAM Tak Simpulkan Laskar dalam Keadaan Mencekam
Karena tidak masuknya persyaratan ini, Taufan menegaskan Mahkamah Internasional tidak bisa mengadili kasus tersebut bila peradilan nasional masih atau telah bekerja.
Sebab, Mahkamah Internasional tidak dirancang untuk menggantikan peradilan nasional.
"Mahkamah Internasional hanya akan bertindak sebagai jaring pengaman, apabila sistem peradilan nasional collapsed atau secara politis terjadi kompromi dengan kejahatan kejahatan tersebut sehingga tidak bisa dipercaya sama sekali," ucap dia.
Baca juga: PPATK Sebut Ada Transaksi Lintas Negara pada Rekening FPI
Di samping itu, tambah Taufan, Indonesia sendiri bukan negara anggota Mahkamah Internasional karena belum meratifikasi Statuta Roma.
Walhasil, Mahkamah Internasional tidak memiliki alasan untuk menggelar peradilan kasus ini.
"Mahkamah Internasional tidak memiliki alasan hukum untuk melaksanakan suatu peradilan atas kasus yang terjadi di wilayah yurisdiksi Indonesia, sebab Indonesia bukan negara anggota (state party)," ujar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.