JAKARTA, KOMPAS.com - Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono memastikan, pemerintah tidak akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk memperbaiki kesalahan perumusan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Ia menyebut, Perppu bukan merupakan solusi yang tepat untuk memperbaiki kesalahan itu.
"Perppu bukan solusi yang tepat dalam hal ini. Perppu tidak dimaksudkan berfungsi sebagai alat eksekutif untuk memperbaiki UU yang sudah dibahas bersama antara DPR dan pemerintah," kata Dini saat dihubungi Kompas.com, Jumat (6/11/2020).
Baca juga: Pemerintah dan DPR Akan Menginventarisasi Kesalahan Dalam UU Cipta Kerja
Menurut Dini, pemerintah dan DPR sudah sepakat akan memperbaiki kesalahan redaksional yang ada dalam UU Cipta Kerja. Pada tahap ini, kedua pihak bakal duduk bersama melakukan investarisasi kesalahan redaksional yang masih ada.
Kemudian, mekanisme perbaikan akan diputuskan lebih lanjut sembari memperhatikan perkembangan yang ada, termasuk proses judicial review yang tengah berjalan di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Sambil menunggu proses inventarisasi selesai, kita tunggu juga bagaimana perkembangan proses JR (judicial review) di MK," ujarnya.
Baca juga: Berbagai Kelalaian yang Membuat Proses UU Cipta Kerja Dinilai Ugal-ugalan...
Dini mengatakan, pemerintah memahami bahwa sejak sebuah undang-undang disahkan dalam Rapat Paripurna, substansinya tak bisa diubah lagi.
Namun, menurut dia, kesalahan dalam UU Cipta Kerja bersifat redaksional sehingga tidak mengubah substansi atau norma yang ada dalam UU tersebut.
Dini mengklaim, kesalahan pengetikan yang ada di UU Cipta Kerja tak akan menimbulkan ketidakjelasan ataupun menghalangi berlakunya undang-undang tersebut.
Selain itu, proses pembuatan aturan turunan dari UU Cipta Kerja tengah berjalan, sehingga undang-undang sapu jagat itu belum bisa dilaksanakan.
"UU Cipta Kerja ini toh juga belum bisa dilaksanakan sebelum peraturan pelaksanaan tersebut rampung," ujar Dini.
"Jadi tidak ada urgensinya untuk mengambil langkah tergesa-gesa pada tahap ini. Harus betul-betul diperhitungkan solusi apa yang paling tepat dan timing yang tepat juga," tutur dia.
Baca juga: Pemerintah Bentuk Tim Tangani Permasalahan Terkait UU Cipta Kerja
Adapun sebelumnya pemerintah telah mengakui adanya kesalahan pengetikan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Hal itu diklaim pemerintah sebagai kekeliruan teknis administratif saja sehingga tak berpengaruh pada implementasi UU Cipta Kerja.
"Hari ini kita menemukan kekeliruan teknis penulisan dalam UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Namun, kekeliruan tersebut bersifat teknis administratif sehingga tidak berpengaruh terhadap implementasi UU Cipta Kerja," kata Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno dalam keterangan tertulis, Selasa (3/11/2020).
Berdasarkan penelusuran Kompas.com, Selasa (3/11/2020), ditemukan kesalahan rumusan pada Pasal 6 di Bab Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha.
Pasal 6 menyebutkan, peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf a meliputi (a) penerapan perizinan berusaha berbasis risiko; (b) penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha; (c) penyederhanaan perizinan berusaha sektor; dan (d) penyederhanaan persyaratan investasi.
Namun, rujukan ke Pasal 5 Ayat (1) tidak jelas, karena dalam UU Cipta Kerja Pasal 5 tidak memiliki ayat.
Pasal 5 hanya mengatur, ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait.
Baca juga: UU Cipta Kerja Ugal-ugalan: Pasal Dihapus, Salah Ketik, hingga Alasan Istana
Kemudian, ada pula kesalahan dalam Pasal 175 di Bab Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan untuk Mendukung Cipta Kerja.
Pasal 175 angka 6 mengubah Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan Nomor 30 Tahun 2014. Pasal 53 itu terdiri atas 5 ayat yang mengatur soal syarat sah keputusan pemerintahan.
Ayat (1) mengatur, batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan diberikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Ayat (2), jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan dan/atau pejabat pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.
Ayat (3), dalam hal permohonan diproses melalui sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik telah terpenuhi, sistem elektronik menetapkan keputusan dan/atau tindakan sebagai keputusan atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan yang berwenang.
Ayat (4), apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), badan dan/atau pejabat pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum.
Ayat (5), ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan keputusan dan/atau tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden.
Semestinya, ketentuan dalam ayat (5) merujuk pada ayat (4), bukan pada ayat (3).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.