Di poin inilah, mengembalikan RUU Cipta Kerja ke dalam diskursus publik memiliki urgensi yang tak bisa ditawar. Percakapan warga negara dengan negara harus difasilitasi melalui forum formal pembahasan UU Cipta Kerja yang berada di parlemen.
Di titik inilah, pengujian UU Cipta Kerja melalui forum legislatif memiliki basis filosofis sekaligus yuridis dalam bentuk legislative review.
Secara teknis, UU Cipta Kerja yang diundangkan langsung diajukan draft perubahan di DPR untuk dilakukan upaya legislative review.
Aspirasi yang muncul dari warga negara atas keberadaan UU ini menjadi basis etik, politis sekaligus yuridis bagi DPR dan Presiden untuk melakukan langkah konstitusional ini.
Hal ini juga diatur dalam Pasal 23 ayat (1) dan (2) UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pengajuan rancangan undang-undangan dapat dilakukan di luar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) bila memenuhi dua kondisi yakni mengatasi keadaan luar biasa dan keadaan tertentu yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU. Perubahan UU Cipta Kerja dapat dikategorikan memiliki urgensi nasional.
Upaya ini dilakukan untuk mengembalikan UU Cipta Kerja dalam ruang diskursus publik di mana suara, aspirasi sekaligus kritik warga negara diakomodasi di ruang Parlemen yang notabene merupakan rumah rakyat.
Langkah ini jauh lebih menemukan konteksnya daripada mendorong pengujian UU Cipta Kerja melalui mekanisme judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK).
Kendati upaya tersebut konstiusional, namun hakikatnya menghilangkan percakapan warga negara dengan negara khususnya dalam perumusan norma-norma dalam undang-undang (UU).
Terlebih dengan posisi MK yang berperan sebagai negative legislator, tak banyak memberi ruang yang cukup bagi warga negara untuk menyampaikan gagasannya.
Proses judicial review di MK hanya akan melahirkan kontestasi argumentasi antara negara dan warga negara dengan menempatkan UU Cipta Kerja sebagai obyek pengujian terhadap undang-undang dasar (UUD).
Upaya ini secara simplistis hanya menyisakan putusan mahkamah yakni mengabulkan dan menolak. Padahal, yang disoal warga negara adalah mengenai partisipasi dan komunikasi dalam pembahasan RUU Cipta Kerja sehingga mengakibatkan lahirnya norma hukum yang dinilai mengabaikan aspirasi publik.
Gelombang protes publik terhadap proses pembentukan dan substansi materi UU Cipta Kerja jika dicermati lebih jauh sebagai ujian atas praktik demokrasi di Indonesia.
Padahal, pemerintahan sejak era reformasi ini hakikatnya telah memiliki instrumen demokratik sebagai pedoman dalam pengelolaan pemerintahan yang baik (good governance).
Namun, protes atas UU Cipta Kerja ini menjadi realitas yang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh negara. Butuh sikap legawa negara untuk mendengar argumentasi, aspirasi bahkan kritik dari publik baik dari dimensi prosedur penyusunan maupun materi UU Cipta Kerja.
Langkah ini jauh produktif daripada bersilang kata mengenai tudingan informasi bohong yang menjadi basis pemrotes atas UU Cipta Kerja ini.