Sementara, poin delapan menyatakan perintah, "upaya harus dilakukan di hulu (titik awal sebelum kumpul) dan lakukan pengamanan (PAM) terbuka dan tertutup."
Terakhir, Isnur mengkritik poin sepuluh perihal penegakkan hukum terhadap pelanggaran pidana dengan jeratan pasal pada UU Kekarantinaan Kesehatan.
Isnur membandingkan dengan penegakan hukum yang dilakukan aparat kepolisian terhadap munculnya klaster di lingkungan perkantoran.
"Bahkan berbagai laporan menunjukkan adanya klaster perkantoran tetapi Polri tidak pernah menggunakan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan untuk pengusaha ataupun pejabat yang memerintahkan pekerja/pegawai tetap bekerja," ucap Isnur.
Baca juga: Selangkah Menuju Pengesahan RUU Cipta Kerja dan Suara Rakyat yang Diabaikan...
Menurut YLBHI, sejumlah aksi yang digelar sebelumnya dengan tema lain tidak diperlakukan seperti aksi penolakan RUU Cipta Kerja tersebut.
Isnur pun mengingatkan bahwa Polri merupakan alat negara, bukan alat untuk memuluskan kepentingan pemerintah.
"Karena itu sulit dibantah surat telegram ini muncul karena Omnibus Law RUU Cipta Kerja adalah inisiatif pemerintah, dan Presiden sejak awal bahkan menginginkan RUU ini selesai dalam waktu 100 hari," tutur dia.
Isnur mendesak Presiden Joko Widodo selaku pimpinan langsung Kapolri agar tidak mengganggu netralitas serta independensi institusi Polri.
Terakhir, YLBHI meminta Presiden dan Kapolri menghormati hak setiap orang untuk menyampaikan pendapat di muka umum.
Hingga saat ini, Mabes Polri belum memberikan komentar terkait hal ini dan Kompas.com masih mencoba meminta penjelasan Polri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.