Isnur menuturkan, mengacu pada Pasal 30 UUD 1945 dan amandemennya, Polri bertugas menjaga keamanan dan ketertiban, bukan melakukan kampanye untuk pemerintah.
Perintah tersebut juga dinilai menghambat kritik publik terhadap pemerintah.
"Selain itu 'mendiskreditkan' adalah tafsiran subjektif yang berpotensi menghambat kritik publik kepada pemerintah. Kritik publik dalam demokrasi justru bermanfaat bagi kehidupan bernegara karena menjadi kontrol kekuasaan," ucap Isnur.
Baca juga: RUU Cipta Kerja, Regulasi Kontroversial Kelima yang Dikebut di Era Jokowi
Poin tujuh dan delapan dalam telegram Kapolri juga dinilai diskriminatif dan melanggar amandemen UUD 1945.
Poin tujuh berisikan, "secara tegas tidak memberikan izin kegiatan baik unjuk rasa maupun izin keramaian lainnya."
Sementara, poin delapan menyatakan perintah, "upaya harus dilakukan di hulu (titik awal sebelum kumpul) dan lakukan pengamanan (PAM) terbuka dan tertutup."
Terakhir, Isnur mengkritik poin sepuluh perihal penegakkan hukum terhadap pelanggaran pidana dengan jeratan pasal pada UU Kekarantinaan Kesehatan.
Isnur membandingkan dengan penegakan hukum yang dilakukan aparat kepolisian terhadap munculnya klaster di lingkungan perkantoran.
"Bahkan berbagai laporan menunjukkan adanya klaster perkantoran tetapi Polri tidak pernah menggunakan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan untuk pengusaha ataupun pejabat yang memerintahkan pekerja/pegawai tetap bekerja," ucap Isnur.
Baca juga: Selangkah Menuju Pengesahan RUU Cipta Kerja dan Suara Rakyat yang Diabaikan...
Menurut YLBHI, sejumlah aksi yang digelar sebelumnya dengan tema lain tidak diperlakukan seperti aksi penolakan RUU Cipta Kerja tersebut.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan