JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang berharap ada perubahan definisi kekerasan seksual dalam Rancangan Undang-Undang Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Pasalnya, definisi kekerasan seksual pada Bab Ketentuan Umum dalam RUU tersebut mendapat pertentangan dari salah satu fraksi.
"Saya berharap kita ke tengah untuk menemukan frasa yang dikhawatirkan terhadap UU ini agar yang dimaksud untuk dicegah, dapat tercegah dengan baik," kata Marwan dalam acara dialog mengenai RUU PKS dengan tokoh agama dan organisasi keagamaan secara daring, Selasa (8/9/2020).
Baca juga: Komnas Perempuan: Ada yang Salah Memahami Definisi RUU PKS
Menurut Marwan, dengan adanya perubahan itu maka makna dari definisi kekerasan seksual tidak sampai melanggar norma agama dan adat.
Dengan demikian, mencari frasa yang tepat dinilainya menjadi salah satu cara agar RUU PKS tersebut bisa dilanjutkan.
Selain itu, kata Marwan, sejumlah anggota DPR menilai bahwa definisi kekerasan seksual dalam RUU PKS terlalu liberal dan feminis.
"Kalau memang ini dikhawatirkan terlalu. Pandangan terhadap definisi UU, kalau seperti ini cantumannya terlalu liberal, bebas dan feminis. Karena itu, kita tinggal cari frasa yang baik supaya tidak terjadi makna ambigu terhadap makna definisi," ucap Marwan.
Baca juga: Indonesia Darurat Kekerasan Seksual, Kenapa RUU PKS Tak Kunjung Disahkan?
Marwan menilai kekhawatiran anggota DPR yang menganggap RUU PKS terlalu liberal bisa dibendung dan peraturan perundang-undangan itu dapat segera disahkan
Sebab, RUU tersebut sangat penting untuk dapat memberikan efek jera terhadap pelaku dan membantu para korban.
"Jadi tidak ada cara lain, memang UU ini diperlukan. Cuma bagaimana kita yakinkan anggota DPR yang terbelah di Senayan bahwa ini UU bukan liberal dan feminis tapi kebutuhannya memang menjawab kekosongan hukum terhadap kejadian dan peristiwa yang ada," ucap dia.
Selain itu, Marwan memastikan bahwa para anggota DPR yang berbeda pandangan bukan berarti tidak setuju dengan adanya UU tersebut.
Ia mengatakan, fraksi yang menentang pengesahan RUU PKS saat ini hanya tidak setuju dengan definisi yang tercantum di dalamnya.
"Kalau begitu kita perbaiki definisinya, tolong carikan frasa yang berubah dari sini sehingga kekhawatiran liberal dan feminis bisa diperkecil," kata dia.
Baca juga: Kentalnya Perilaku Patriarki di DPR Dinilai Hambat Pengesahan RUU PKS
Dalam proses pembahasan RUU PKS, hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) yang menyatakan menolak pengesahan draf. Bahkan, Fraksi PKS tidak setuju dengan pembentukan tim perumus.
Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini mengatakan, penolakan tersebut didasarkan pada alasan mengenai potensi pertentangan materi RUU dengan nilai-nilai Pancasila dan agama.
Menurut dia, hal itu akan menimbulkan polemik di masyarakat.
"Fraksi PKS bukan tanpa upaya, memberi masukan, sehingga sampai pada kesimpulan menolak draf RUU. Fraksi sudah secara tegas memberikan masukan perubahan tetapi tidak diakomodasi dalam RUU," ujar Jazuli saat dikonfirmasi, Selasa (5/2/2019).
Jazuli mengatakan, Fraksi PKS mempersoalkan mengenai definisi dan cakupan kekerasan seksual.
Ia menilai, definisi kekerasan seksual hingga cakupan tindak pidana kekerasan seksual dominan berperspektif liberal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, agama, dan budaya ketimuran.
Bahkan, kata Jazuli, ketentuan itu berpretensi membuka ruang sikap permisif atas perilaku seks bebas dan menyimpang.
Sikap Fraksi PKS ini, lanjut Jazuli, diperkuat dengan adanya penolakan dari tokoh-tokoh agama, para ahli, ormas, dan elemen masyarakat lainnya terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
"Atas dasar itulah, Fraksi PKS semakin mantap dan yakin untuk menolak draf RUU tersebut serta akan menempuh langkah konstitusional agar DPR membatalkan pembahasan RUU tersebut," kata Jazuli.
Baca juga: Ini Alasan PKS Tolak Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Definisi kekerasan seksual diatur dalam Pasal 1 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Pasal ini menyatakan, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
Sementara, cakupan tindak pidana kekerasan seksual diatur dalam Pasal 11 sampai Pasal 20.
Pasal 11 ayat (1) menyatakan kekerasan seksual terdiri dari:
a. pelecehan seksual;
b. eksploitasi seksual;
c. pemaksaan kontrasepsi;
d. pemaksaan aborsi;
e. perkosaan;
f. pemaksaan perkawinan;
g. pemaksaan pelacuran;
h. perbudakan seksual; dan
i. penyiksaan seksual.
Sedangkan Pasal 11 ayat (2) menyatakan, kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi peristiwa kekerasan seksual dalam lingkup relasi personal, rumah tangga, relasi kerja, publik, termasuk yang terjadi dalam situasi konflik, bencana alam dan situasi khusus lainnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.