JAKARTA, KOMPAS.com - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mendorong supaya pasal tentang penodaan agama di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan pasal penistaan agama di Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) dihapus.
Sebab, menurut YLBHI, pasal tersebut tidak jelas dan tak memenuhi asas legalitas hukum.
"Perlu ada penghapusan pasal penodaan agama di KUHP dan penistaan agama di Undang-Undang Ormas karena dia tidak memenuhi asas legalitas. Tidak jelas apa sih penodan agama, apa sih penistaan agama, tidak ada definisinya," kata Ketua Umum YLBHI Asfinawati dalam diskusi virtual yang digelar Jumat (21/8/2020).
Baca juga: YLBHI: Sejumlah Remaja Dituding Lakukan Penodaan Agama karena Video TikTok
Asfina mengatakan, Pasal 156a KUHP kerap kali digunakan untuk menjerat terduga pelaku penodaan agama.
Padahal, pasal tersebut tidak menjelaskan definisi dari penodaan agama itu sendiri.
Hal yang sama juga terjadi pada pasal tentang penistaan agama di UU Ormas.
Oleh karena itu, menurut Asfina, pemrosesan kasus penodaan dan penistaan agama sangat dipengaruhi persepsi publik dan penegak hukum.
"Tidak ada definisi yang jelas sehingga penegakan hukum cenderung dipengaruhi oleh desakan massa atau publik," ujar Asfina.
"Bahkan bisa mempidanakan apa saja dan gangguan ketertiban masih menjadi alasan untuk menangkap atau memproses hukumnya (terduga pelaku penodaan atau penistaan agama)," ucap dia.
Tidak hanya itu, Asfina menyebut, proses hukum kasus penodaan agama kerap dilakukan karena viralnya peristiwa.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan