JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menyebut, banyak terduga pelaku kasus penodaan agama yang tetap diproses hukum meski tak berniat melakukan penodaan agama.
Sejumlah kasus tetap diproses pihak kepolisian lantaran sudah terlanjur viral karena diduga melanggar Undang-Undang ITE.
"Banyak kasus ini (penodaan agama) tidak membuktikan niat. Hal ini sudah sering dulu kami ungkapkan, kalau niat itu dengan sengaja menghina misalnya, dengan sengaja menodai agama. Itu tidak pernah dibuktikan," kata Asfina dalam diskusi virtual yang digelar Jumat (21/8/2020).
Baca juga: YLBHI: Hingga Mei 2020, Terjadi 38 Kasus Penodaan Agama, Mayoritas di Sulsel
Asfina mencontohkan, pernah terjadi sebuah kasus, seseorang melakukan aksi sumpah dengan menginjak kitab suci demi membuktikan cintanya pada sang kekasih.
Aksi tersebut ternyata diabadikan oleh sang kekasih yang berada di luar negeri.
Setelah pasangan itu tak lagi bersama, sang kekasih menyebarkan dokumentasi aksi injak kitab suci yang dilakukan mantan kekasihnya itu.
Peristiwa tersebut viral di media sosial dan berujung diproses kepolisian.
Meski niat menyebarkan dokumentasi tersebut bukan untuk sengaja menodai agama dan polisi mengetahui bahwa yang diinjak bukan kibat suci, sang kekasih ini pada akhirnya tetap diproses hukum.
"Tapi karena sudah ramai, sudah viral, memang harus ada yang dikorbankan untuk memuaskan publik, seolah-olah begitu. Meskipun kita perlu bertanya, apakah betul publik tidak bisa tenang kalau dielaskan yang sebenarnya," ujar Asfina.
Di samping tidak terbuktinya unsur kesengajaan, menurut Asfina, kasus penodaan agama kerap kali diproses tanpa adanya barang bukti.
Baca juga: Catat 38 Kasus dalam 5 Bulan, YLBHI Minta Hapus Pasal Penodaan Agama
Hal itu bisa dilihat dari kasus Meiliana yang mengeluhkan pengeras suara azan dari sebuah masjid.
Dalam kasus tersebut, yang dijadikan alat bukti oleh polisi yakni pengeras suara azan.
Padahal, pengeras suara azan tak ada kaitannya dengan perbuatan Meiliana.
"Misalnya kalau pemalsuan uang maka barang buktinya uang palsunya atau alat mencetak uang palsu itu. Dalam kasus Meliana barang buktinya adalah toa (pengeras suara) masjid, padahal toa masjid itu enggak ada kaitanya dengan perbuatannya Meliana," ujar Asfina.
Tidak hanya itu, seseorang kerap kali dituduh melakukan perbuatan penodaan agama karena dijerat hukum yang sebenarnya baru dibuat setelah peristiwa terjadi.
Padahal, seharusnya seseorang dihukum atas perbuatannya jika memang terbukti melanggar aturan yang sudah ada.
"Ada orang misalnya shalat 2 bahasa, kemudian setelah perbuatan itu dilakukan (pelaku), pengadu meminta fatwa, fatwanya muncul kemudian setelah pengaduan disampaikan kepada polisi atau setidak-tidaknya sesudah perbuatan itu dilakukan," ujar Asfina.
"Jadi kan tidak ada hukuman ketika perbuatan itu dilakukan," ucap dia.
YLBHI mencatat, selama Januari 2010 hingga Mei 2020, terjadi 38 kasus penodaan agama di Indonesia.
Ke-38 kasus itu tersebar di sejumlah provinsi, mayoritas di Sulawesi Selatan.
"Jadi ada daerah-daerah yang cukup menonjol yaitu Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Maluku Utara dan Jawa Barat. Kalau kita pelajari kasus-kasus sebelumnya, memang daerah ini selalu ada dan cukup banyak," kata Ketua Umum YLBHI Asfinawati dalam sebuah diskusi virtual, Jumat (21/8/2020).
Berdasarkan catatan YLBHI, dari 38 kasus, 6 di antaranya terjadi di Sulawesi Selatan. Kemudian, di Maluku Utara dan Jawa Timur masing-masing terjadi 5 kasus.
Baca juga: Tak Penuhi Asas Legalitas, YLBHI Desak Penghapusan Pasal Penodaan Agama
Lalu, di Jawa Barat dan Sumatera Utara masing-masing terjadi 4 kasus, sedangkan di Kalimantan Selatan, Kepulauan Riau, dan DKI Jakarta masing-masing ada 2 kasus.
Selanjutnya, di Bali, Gorontalo, Jambi, Nusa Tenggara Barat, Papua, Riau, Sulawesi Utara, dan Sumatera Selatan terjadi 1 kasus.
Dari 38 kasus tersebut, pelaku 25 kasus sudah ditangkap. Dari jumlah tersebut, 11 kasusnya dalam proses penyelidikan, 10 kasus masuk proses penyidikan, 1 kasus disidangkan, dan sisanya tidak ditindaklanjuti.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.