JAKARTA, KOMPAS.com - Guru Besar Ilmu Komunikasi dari Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung Deddy Mulyana menyoroti rendahnya literasi masyarakat di Indonesia.
"Sehingga dampak rendahnya kemampuan literasi ini mempengaruhi rendahnya daya kritis seseorang terhadap suatu isu," kata Deddy melalui keterangan tertulis, Rabu (5/8/2020).
Rendahnya literasi itu terlihat, baik secara demografis dan statistik.
Deddy menyebut bahwa berdasarkan data, masyarakat Indonesia rata-rata hanya membaca 27 halaman buku per tahun.
Baca juga: Agar Masyarakat Kritis dan Cerdas Menonton TV, KPI Selenggarakan Program Literasi Media
Indonesia sendiri berada pada urutan 61 dari 62 negara yang disurvei tingkat literasinya.
Salah satu contoh kongkret yang baru-baru ini terjadi yakni masyarakat dengan mudah percaya informasi yang disampaikan dalam video YouTube milik musisi Anji.
Diketahui, Anji mengundang seseorang yang mengaku sebagai profesor dan pakar mikrobiologi bernama Hadi Pranoto.
Hadi Pranoto mengklaim, menemukan obat herbal yang dapat dijadikan antibodi untuk menyembuhkan pasien Covid-19.
Baca juga: Pemerintah Diminta Utamakan Literasi Digital Ketimbang Blokir Internet
Belakangan diketahui bahwa Hadi tidak memiliki rekam jejak yang jelas dalam bidang medis. Obat yang diklaimnya dapat menyembuhkan pasien Covid-19 juga rupanya belum teruji klinis.
Deddy melanjutkan, sejak kemunculannya, video itu sangat eye catching alias menyedot perhatian publik.
Sebab, topik pembicaraan pada video itu menyangkut sesuatu yang penting dan berhubungan dengan khalayak. Ini terlepas dari apakah informasi di dalamnya benar atau salah.
"Banyak juga hoaks yang beredar sebelumnya, namun hanya ini yang dilaporkan dan menjadi besar. Sebab tingkat kepentingannya sangat tinggi, menyangkut hidup mati seseorang," ujar Deddy.
Baca juga: Jaringan Pegiat Literasi Digital Lawan Hoaks Corona, Begini Caranya
Selanjutnya, video tersebut juga menarik orang lantaran dimiliki oleh seorang publik figur yang memiliki penggemar dan pembenci.
Deddy mengingatkan bahwa publik harus menyadari bahwa informasi di dalam video itu maupun yang lainnya merupakan sebuah konstruksi sosial yang tetap harus dikritisi.
"Sebuah tayangan bukan hanya hasil karya seseorang, tetapi merupakan sebuah konstruksi sosial. Kita tidak bisa serta merta menghakimi seseorang hanya karena sebuah tayangan," ujar Deddy.
"Misalnya, seseorang dipanggil dengan sebutan profesor, padahal masih doktor. Ini sebagai bentuk penghormatan. Kita perlu tahu, apakah gelar itu adalah pengakuan narasumber, atau pihak lain?" lanjut dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.