Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Video Hadi Pranoto dan Anji, Literasi Masyarakat Jadi Sorotan

Kompas.com - 05/08/2020, 17:16 WIB
Deti Mega Purnamasari,
Fabian Januarius Kuwado

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Guru Besar Ilmu Komunikasi dari Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung Deddy Mulyana menyoroti rendahnya literasi masyarakat di Indonesia.

"Sehingga dampak rendahnya kemampuan literasi ini mempengaruhi rendahnya daya kritis seseorang terhadap suatu isu," kata Deddy melalui keterangan tertulis, Rabu (5/8/2020).

Rendahnya literasi itu terlihat, baik secara demografis dan statistik.

Deddy menyebut bahwa berdasarkan data, masyarakat Indonesia rata-rata hanya membaca 27 halaman buku per tahun.

Baca juga: Agar Masyarakat Kritis dan Cerdas Menonton TV, KPI Selenggarakan Program Literasi Media

Indonesia sendiri berada pada urutan 61 dari 62 negara yang disurvei tingkat literasinya.

Salah satu contoh kongkret yang baru-baru ini terjadi yakni masyarakat dengan mudah percaya informasi yang disampaikan dalam video YouTube milik musisi Anji.

Diketahui, Anji mengundang seseorang yang mengaku sebagai profesor dan pakar mikrobiologi bernama Hadi Pranoto.

Hadi Pranoto mengklaim, menemukan obat herbal yang dapat dijadikan antibodi untuk menyembuhkan pasien Covid-19.

Baca juga: Pemerintah Diminta Utamakan Literasi Digital Ketimbang Blokir Internet

Belakangan diketahui bahwa Hadi tidak memiliki rekam jejak yang jelas dalam bidang medis. Obat yang diklaimnya dapat menyembuhkan pasien Covid-19 juga rupanya belum teruji klinis.

Deddy melanjutkan, sejak kemunculannya, video itu sangat eye catching alias menyedot perhatian publik.

Sebab, topik pembicaraan pada video itu menyangkut sesuatu yang penting dan berhubungan dengan khalayak. Ini terlepas dari apakah informasi di dalamnya benar atau salah.

"Banyak juga hoaks yang beredar sebelumnya, namun hanya ini yang dilaporkan dan menjadi besar. Sebab tingkat kepentingannya sangat tinggi, menyangkut hidup mati seseorang," ujar Deddy.

Baca juga: Jaringan Pegiat Literasi Digital Lawan Hoaks Corona, Begini Caranya

Selanjutnya, video tersebut juga menarik orang lantaran dimiliki oleh seorang publik figur yang memiliki penggemar dan pembenci.

Deddy mengingatkan bahwa publik harus menyadari bahwa informasi di dalam video itu maupun yang lainnya merupakan sebuah konstruksi sosial yang tetap harus dikritisi.

"Sebuah tayangan bukan hanya hasil karya seseorang, tetapi merupakan sebuah konstruksi sosial. Kita tidak bisa serta merta menghakimi seseorang hanya karena sebuah tayangan," ujar Deddy.

"Misalnya, seseorang dipanggil dengan sebutan profesor, padahal masih doktor. Ini sebagai bentuk penghormatan. Kita perlu tahu, apakah gelar itu adalah pengakuan narasumber, atau pihak lain?" lanjut dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Khofifah Tolak Tawaran jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

Khofifah Tolak Tawaran jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

Nasional
Soal Duetnya di Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Soal Duetnya di Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Nasional
Jadi Tempat Prostitusi, RTH Tubagus Angke Diusulkan untuk Ditutup Sementara dan Ditata Ulang

Jadi Tempat Prostitusi, RTH Tubagus Angke Diusulkan untuk Ditutup Sementara dan Ditata Ulang

Nasional
Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Nasional
Respons Luhut Soal Orang 'Toxic', Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Respons Luhut Soal Orang "Toxic", Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Nasional
Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Nasional
Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Nasional
Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com