Google sebagai mesin pencarian menyediakan berbagai tools untuk menelusuri hoaks. Tidak hanya itu, banyak lembaga yang bergerak di bidang pemeriksa fakta untuk mengidentifikasi hoaks. Bahkan, perusahaan media massa (online) juga turun tangan menjawab tantangan itu dengan ikut melakukan pemeriksaan fakta.
Namun, persoalan hoaks atau kabar bohong tidak terhenti di situ dan tidak sesederhana itu. Apalagi ketika kebohongan itu terkait dengan motif politik dan ekonomi yang dikemas dengan teori konspirasi.
Merujuk pada Pemilihan Presiden Amerika Serikat Tahun 2016 yang mengantarkan Donald Trump ke Gedung Putih, koreksi terhadap kabar bohong tidak mengonfirmasi pandangan individu terhadap informasi yang telah diterimanya. Bahkan cenderung mengafirmasi sikap yang telah ada pada diri individu tersebut.
PolitiFact, lembaga pemeriksa fakta independen mencatat, 70 persen pernyataan Donald Trump selama kampanye Pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 2016 palsu atau sebagian besar palsu.
Begitu juga dengan lawannya Hillary Clinton, meski tidak sebanyak Trump, setidaknya sebesar 26 persen dari seluruh pernyataannya masuk dalam kategori false atau mostly false.
Kebohongan demi kebohongan itu tidak lantas menyebabkan pilihan politik warga berubah sekalipun kebohongan itu telah dikoreksi. Kebohongan itu menjadi apa yang disebut sebagai fakta alternatif.
Di Indonesia, dua pasangan calon presiden dalam Pemilihan Presiden 2019, yakni Joko Widodo dan Parbowo Subianto juga kerap melontarkan data yang salah serta klaim yang tidak berdasar selama masa kampanye, terutama saat debat kandidat. Namun, pendukung yang mana yang mau peduli dengan itu.
Takaran dukungan yang besar telah menjadi kebenaran yang menyeluruh untuk kandidat yang didukungnya. Tapi itu sudah berlalu, keduanya kini sudah akur dalam satu kabinet pemerintahan.
Era Pasca-kebenaran
Fenomena hoaks yang kian meningkat dan semakin mengaburkan antara kebenaran dan kebohongan memunculkan istilah baru, yaitu post-truth. Istilah ini semakin banyak digunakan dan pada Tahun 2016 menuntun Kamus Oxford menominasikan kata post-truth atau pasca-kebenaran sebagai istilah tertentu.
Post-truth atau pasca-kebenaran merujuk pada keadaan dimana fakta-fakta obyektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dari pada emosi dan kepercayaan pribadi.
Munculnya era pasca-kebenaran ini bisa dilihat dari berbagai faktor. Di antaranya merosotnya modal sosial dan pergeseran nilai, ketimpangan yang menyebabkan polarisasi politik dan menurunnya kepercayaan kepada sains serta yang tidak kalah pentinnya adalah faktor evolusi lanskap media (Lewandowsky, Ecker dan Cook, 2017).
Faktor modal sosial dan pergeseran nilai merujuk pada faktor niatan baik, empati dan rasa saling percaya. Akibat merosotnya modal dan nilai sosial ini menyebabkan banyak orang yang dengan mudah bahkan tanpa pertimbangan memproduksi dan menyebarkan kebohongan.
Adapun polarisasi politik menyebabkan kehidupan masyarakat semakin terbelah ke dalam posisi yang berhadap-hadapan. Sementara, menurunnya kepercayaan kepada sains membuat individu semakin terhindar dari fakta objektif.
Evolusi lanskap media berperan dalam memunculkan era pasca-kebenaran karena fleksibilitas dan fraksinasi yang ditawarkannya memungkinkan seseorang berada dalam ruang gema atau echo chamber.