Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andi Hartik
Wartawan

Wartawan, Tinggal di Malang, Jawa Timur | Kontributor Kompas.com | Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi di Universitas Brawijaya (UB)

Menjaga Nalar di Era Pasca-Kebenaran

Kompas.com - 18/07/2020, 14:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KEBANYAKAN dari kita pasti mengetahui cerita tentang Pinokio. Boneka kayu asal Italia itu hidungnya memanjang ketika berbicara bohong. Bayangkan ketika itu nyata terjadi pada manusia, betapa banyak manusia yang tiba-tiba memanjang hidungnya.

Persoalan yang terjadi saat ini adalah, ada orang yang sengaja membuat kabar bohong dengan maksud dan tujuan tertentu (disinformasi) dan ada orang yang tidak sengaja menyebarkannya (misinformasi). Parahnya lagi, penerima pesan berisi kabar bohong itu tidak sadar bahwa dirinya sudah dibohongi.

Belum lama ini, dalam suatu grup whatsapp, seorang anggota grup meneruskan pesan berisi susunan kabinet hasil reshuffle. Pesan itu beredar setelah Presiden Joko Widodo marah dan melontarkan kata reshuffle akibat lambannya kinerja kementerian dalam penanganan Covid-19 dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara pada 18 Juni 2020.

Yang memicu perhatian dari pesan itu adalah nama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Nama Ahok bertengger di posisi Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang sekarang dijabat oleh Erick Thohir.

Belakangan, pada 2 Juli 2020, Kementerian Komunikasi dan Informatikan (Kominfo) menyebut pesan tentang Ahok bakal menggantikan Erick Thohir sebagai Menteri BUMN adalah kabar bohong alias hoaks.

Pesan serupa juga beredar di media sosial tentang Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sebenarnya terlarang di Indonesia. Narasi hoaks yang disertai dengan gambar tangkapan layar berisi Tjahjo Kumolo saat masih menjadi Menteri Dalam Negeri itu menyebutkan ‘Istana meresmikan bahwa PKI diperbolehkan di Indonesia’.

Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) menegaskan bahwa narasi itu sebagai konten yang menyesatkan dan merupakan pengulangan dari hoaks yang sudah diverifikasi sebelumnya.

Dua contoh kabar bohong ini merupakan ilustrasi dari sekian banyak hoaks yang beredar di sekitar kita. Wabah global Covid-19 yang menyebabkan krisis kesehatan pun tidak lepas dari hoaks hingga memicu munculnya istilah infodemik.

Hingga 15 Juni 2020, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Indonesia mencatat ada 137.829 hoaks terkait dengan virus corona (Kompas.com, 2020), sebagian sudah ditangani oleh pihak kepolisian.

Sebenarnya, tabiat orang berbohong itu bukan kali ini saja. Seiring dengan kisah kehidupan manusia, cerita tentang kebohongan itu selalu ada.

Ada bohong yang menyebabkan bahaya dan ada yang tidak. Sebagai akibat dari transformasi media, kebohongan semakin mudah dibuat dan disebarkan hingga pada gilirannya memicu persoalan yang sangat komplek.

Hal itu menyebabkan istilah hoaks yang merujuk pada kebohongan (hocus) semakin banyak digunakan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) lantas menyerap istilah kata itu menjadi hoaks dengan pengertian yang sama.

Pada tahun 2016, muncul istilah turn back hoax sebagai respon dari banyaknya kabar bohong yang beredar. Berbagai upaya juga terus dilakuan untuk melawan hoaks yang menyesatkan.

Mulai dari mengkarakterisasi hoaks menjadi misinformasi dan disinformasi, kemudian memahami tipe bentuknya seperti misleading content, imposter content, fabricated content, false connection, false context dan manipulated content (Wardle dan Derakhshan, 2017).

Google sebagai mesin pencarian menyediakan berbagai tools untuk menelusuri hoaks. Tidak hanya itu, banyak lembaga yang bergerak di bidang pemeriksa fakta untuk mengidentifikasi hoaks. Bahkan, perusahaan media massa (online) juga turun tangan menjawab tantangan itu dengan ikut melakukan pemeriksaan fakta.

Namun, persoalan hoaks atau kabar bohong tidak terhenti di situ dan tidak sesederhana itu. Apalagi ketika kebohongan itu terkait dengan motif politik dan ekonomi yang dikemas dengan teori konspirasi.

Merujuk pada Pemilihan Presiden Amerika Serikat Tahun 2016 yang mengantarkan Donald Trump ke Gedung Putih, koreksi terhadap kabar bohong tidak mengonfirmasi pandangan individu terhadap informasi yang telah diterimanya. Bahkan cenderung mengafirmasi sikap yang telah ada pada diri individu tersebut.

PolitiFact, lembaga pemeriksa fakta independen mencatat, 70 persen pernyataan Donald Trump selama kampanye Pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 2016 palsu atau sebagian besar palsu.

Begitu juga dengan lawannya Hillary Clinton, meski tidak sebanyak Trump, setidaknya sebesar 26 persen dari seluruh pernyataannya masuk dalam kategori false atau mostly false.

Kebohongan demi kebohongan itu tidak lantas menyebabkan pilihan politik warga berubah sekalipun kebohongan itu telah dikoreksi. Kebohongan itu menjadi apa yang disebut sebagai fakta alternatif.

Di Indonesia, dua pasangan calon presiden dalam Pemilihan Presiden 2019, yakni Joko Widodo dan Parbowo Subianto juga kerap melontarkan data yang salah serta klaim yang tidak berdasar selama masa kampanye, terutama saat debat kandidat. Namun, pendukung yang mana yang mau peduli dengan itu.

Takaran dukungan yang besar telah menjadi kebenaran yang menyeluruh untuk kandidat yang didukungnya. Tapi itu sudah berlalu, keduanya kini sudah akur dalam satu kabinet pemerintahan.

Era Pasca-kebenaran

Fenomena hoaks yang kian meningkat dan semakin mengaburkan antara kebenaran dan kebohongan memunculkan istilah baru, yaitu post-truth. Istilah ini semakin banyak digunakan dan pada Tahun 2016 menuntun Kamus Oxford menominasikan kata post-truth atau pasca-kebenaran sebagai istilah tertentu.

Post-truth atau pasca-kebenaran merujuk pada keadaan dimana fakta-fakta obyektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dari pada emosi dan kepercayaan pribadi.

Munculnya era pasca-kebenaran ini bisa dilihat dari berbagai faktor. Di antaranya merosotnya modal sosial dan pergeseran nilai, ketimpangan yang menyebabkan polarisasi politik dan menurunnya kepercayaan kepada sains serta yang tidak kalah pentinnya adalah faktor evolusi lanskap media (Lewandowsky, Ecker dan Cook, 2017).

Faktor modal sosial dan pergeseran nilai merujuk pada faktor niatan baik, empati dan rasa saling percaya. Akibat merosotnya modal dan nilai sosial ini menyebabkan banyak orang yang dengan mudah bahkan tanpa pertimbangan memproduksi dan menyebarkan kebohongan.

Adapun polarisasi politik menyebabkan kehidupan masyarakat semakin terbelah ke dalam posisi yang berhadap-hadapan. Sementara, menurunnya kepercayaan kepada sains membuat individu semakin terhindar dari fakta objektif.

Evolusi lanskap media berperan dalam memunculkan era pasca-kebenaran karena fleksibilitas dan fraksinasi yang ditawarkannya memungkinkan seseorang berada dalam ruang gema atau echo chamber.

Media sosial juga andil dalam memunculkan era pasca-kebenaran karena sifatnya yang anonim sehingga meniadakan rasa kesopanan dan memudahkan provokasi dilakukan dengan kebencian, kemarahan dan ketakutan dengan mengaburkan fakta yang sebenarnya.

Dilihat dari perspektif retorika (Aristoteles, 385-323 SM), era pasca-kebenaran memungkinkan pathos atau faktor emosi lebih berpengaruh dari pada dua komponen lainnya, yaitu ethos atau karakter pembicara dan logos atau argumen logis yang merujuk pada fakta (Bruce McComiskey, 2017).

Oleh karenanya, kata tidak lagi harus merepresentasikan fakta untuk menjadi suatu kebenaran.

Memelihara nalar kritis

Lalu bagaimana supaya terhindar dari kebohongan-kebohongan atau hoaks-hoaks itu?

Bagaimanapun, kabar bohong bukan sekedar tentang bagaimana kebohongan itu dibuat dan disebarkan. Melainkan juga tentang bagaimana kebohongan itu diterima dan dicerna.

Pada konteks ini, dibutuhkan nalar kritis yang berbasis pada wawasan keilmuan atau pengetahuan.

Perpaduan antara nalar kritis dan wawasan keilmuan ini akan menyebabkan seseorang atau individu tidak mudah percaya dengan informasi yang diterimanya. Sekalipun, informasi itu dibingkai dengan logika yang masuk akal.

Cara mudah dan sederhana untuk menjaga nalar adalah disiplin verifikasi dengan cara berpengetahuan skeptis seperti yang selalu dilakukan wartawan saat menjalankan kerja liputan.

Menurut Kovach dan Rosenstiel (2010), di era banjir informasi, individu harus menjadi editor, penjaga pintu dan pengumpul informasi bagi dirinya sendiri. Sebab, arus informasi semakin deras melebihi derasnya berita yang disajikan oleh media massa yang sejauh ini berperan dalam menjadi penjaga pintu untuk pembacanya.

Kovach dan Rosenstiel (2010) menawarkan cara berpengetahuan skeptis dengan selalu menanyakan dan tahu bagaimana caranya menjawab sejumlah pertanyaan secara sistematis melalui disiplin verifikasi.

Sederhananya, kita tidak mudah mempercayai suatu informasi sebelum memeriksa dan memastikan bukti objektif yang ada pada informasi tersebut. Semoga kita terhindar dari bahaya “hidung panjang”.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PDI-P Harap Pilkada 2024 Adil, Tanpa 'Abuse of Power'

PDI-P Harap Pilkada 2024 Adil, Tanpa "Abuse of Power"

Nasional
PKS Belum Tentukan Langkah Politik, Jadi Koalisi atau Oposisi Pemerintahan Prabowo-Gibran

PKS Belum Tentukan Langkah Politik, Jadi Koalisi atau Oposisi Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
KPK Duga Biaya Distribusi APD Saat Covid-19 Terlalu Mahal

KPK Duga Biaya Distribusi APD Saat Covid-19 Terlalu Mahal

Nasional
Anggap Jokowi dan Gibran Masa Lalu, PDI-P: Enggak Perlu Kembalikan KTA

Anggap Jokowi dan Gibran Masa Lalu, PDI-P: Enggak Perlu Kembalikan KTA

Nasional
Naik Kereta Cepat, Ma'ruf Amin Kunjungan Kerja ke Bandung

Naik Kereta Cepat, Ma'ruf Amin Kunjungan Kerja ke Bandung

Nasional
Harga Bawang Merah Melonjak, Mendag Zulhas: Karena Tidak Ada yang Dagang

Harga Bawang Merah Melonjak, Mendag Zulhas: Karena Tidak Ada yang Dagang

Nasional
Dua Tersangka TPPO Berkedok Magang Sembunyi di Jerman, Polri Ajukan Pencabutan Paspor

Dua Tersangka TPPO Berkedok Magang Sembunyi di Jerman, Polri Ajukan Pencabutan Paspor

Nasional
Tak Dukung Anies Maju Pilkada DKI, PKS: Beliau Tokoh Nasional, Jangan Kembali Jadi Tokoh Daerah

Tak Dukung Anies Maju Pilkada DKI, PKS: Beliau Tokoh Nasional, Jangan Kembali Jadi Tokoh Daerah

Nasional
Zulhas Ungkap Arahan Prabowo soal Buka Pintu Koalisi

Zulhas Ungkap Arahan Prabowo soal Buka Pintu Koalisi

Nasional
Menpan-RB Minta Pemprov Kalbar Optimalkan Potensi Daerah untuk Wujudkan Birokrasi Berdampak

Menpan-RB Minta Pemprov Kalbar Optimalkan Potensi Daerah untuk Wujudkan Birokrasi Berdampak

Nasional
Prabowo Mau Kasih Kejutan Jatah Menteri PAN, Zulhas: Silakan Saja, yang Hebat-hebat Banyak

Prabowo Mau Kasih Kejutan Jatah Menteri PAN, Zulhas: Silakan Saja, yang Hebat-hebat Banyak

Nasional
Selain Bima Arya, PAN Dorong Desy Ratnasari untuk Maju Pilkada Jabar

Selain Bima Arya, PAN Dorong Desy Ratnasari untuk Maju Pilkada Jabar

Nasional
Perkecil Kekurangan Spesialis, Jokowi Bakal Sekolahkan Dokter RSUD Kondosapata Mamasa

Perkecil Kekurangan Spesialis, Jokowi Bakal Sekolahkan Dokter RSUD Kondosapata Mamasa

Nasional
Penetapan Prabowo-Gibran Besok, KPU Undang Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud

Penetapan Prabowo-Gibran Besok, KPU Undang Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud

Nasional
Amanat Majelis Syura Gulirkan Hak Angket di DPR, Presiden PKS Sebut Lihat Realitanya

Amanat Majelis Syura Gulirkan Hak Angket di DPR, Presiden PKS Sebut Lihat Realitanya

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com