Tak ada pesan diterima sempurna dan diteruskan tanpa intinya tercecer atau teralihkan. Jika ceceran dan alihan pesan itu adalah hoaks, maka terimalah bahwa hoaks adalah salah satu genre komunikasi.
Tapi ini bukan saja soal pola komunikasi, hoaks juga mengejawantahkan sikap terhadap sang liyan, ketakutan akan perbedaan, imajinasi sosial yang monolitik, dan kerinduan akan otoritas yang kuat.
Baca juga: Gugus Tugas Sebut Terdapat 137.829 Hoaks terkait Virus Corona
Hoaks masa kini adalah efek teknologi digital dan logika media sosial. Tak peduli pesan itu adalah kebenaran atau muslihat semuanya dikemas dalam instrumen digital.
Sulit untuk tabbayun di luar sistem ini. Sedangkan logika digital memuliakan tontonan, sensasionalisme, dan viralitas.
Dalam hal ini hoaks bukan semata informasi lancung melainkan menjadi hoakstivisme, aktivisme yang sadar tak sadar memproduksi, mengonsumsi, dan menebar hoaks. Semua orang rentan untuk terpeleset menjadi hoakstivis.
Alih-alih menciptakan keterbukaan, dunia digital saat ini mendorong pembentukan sekat-sekat maya, khususnya di antara kelompok yang berpikiran sejenis (homofilial).
Ia menciptakan ruang gema (echo chamber) di mana orang hanya mendengar dan meneguhkan apa yang sudah ia percaya.
Apalagi si penyebar adalah tokoh dan panutan kita. Masak sih kita tidak percaya padanya? Tapi inilah lahan subur hoakstivisme.
Bentuk mutan hoakstivisme adalah politik informasi. Ia sudah menjadi kenyataan politik, khususnya ketika terjadi pemilu sebab terbukti efektivitasnya. Pemilu mana di dunia ini yang tak melibatkan hoaks?
Salah satu tekniknya adalah firehose of falsehood. Muslihat yang terus menerus disemburkan ke publik akan perlahan menjadi tekanan yang menggoyahkan iman seseorang lalu menerimanya sebagai “kebenaran.”
Tak hanya itu. Kebenaran yang dirangkul menjadi energi bagi mobilisasi sosial. Kita lihat buktinya sejak pemilihan gubernur DKI Jakarta pada 2016 hingga saat masa pandemi ini.
Harapannya tinggal pada kemauan kita membebaskan diri dari sihir ruang gema. Kita perlu mengakui dan merengkuh kerentanan kita terhadap kecenderungan hoakstivisme ini sambil membangun budaya kritis.
Syukurlah, di masa pandemi corona, virus hoakstivisme bukanlah satu-satunya kenyataan. Virus pengharapan juga merebak lintas kelompok dan lintas keyakinan.
Orang merasakan demokratisasi nasib dan bersedia keluar dari kenyamanan kelompoknya sendiri dan saling membantu. Semoga itu menjadi pemulih mala digital yang dihasilkan oleh hoakstivisme. (Leonard Chrysostomos Epafras, Pengajar di Universitas Kristen Duta Wacana)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.