Salin Artikel

"Virus" Hoakstivisme, Hati-hati Terpeleset Jadi Hoakstivis

DI MASA kini, virus corona ibarat kotak pandora. Ia yang tadinya hanya fakta medis, ketika tutup kotaknya tersingkap seketika menjadi pandemi. Tak hanya merontokkan imunitas manusia, tapi juga akal sehat.

Di era digital, virus menjangkit, menjangkit pula virus hoaks, rasisme, ujaran kebencian, teori konspirasi, dan ekstremisme agama, yang dibagikan di media sosial. Virus corona merebak, hoaks bergerak.

Meningkatnya pelintiran pesan (hoaks) selama pandemi membuat lembaga-lembaga semacam Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia), Kemenkominfo, dan lembaga-lembaca cek fakta lainnya harus berjerih lelah meluruskannya. Kemenkominfo mencatat 633 hoaks sepanjang April hingga awal Mei 2020.

Wow, itu berarti dari sekian banyak pesan yang kita konsumsi tiap hari ada 21 hoaks berseliweran, hampir tiap jam terselip satu hoaks di media sosial kita.

Banyak pesan-pesan itu bukan saja lancung tapi berniat memecah belah pembacanya, menimbulkan kebencian antarkelompok sosial. Tengoklah salah satu yang ditangani Mafindo, “Mereka Sudah Mempersiapkan Senjata Tuk Membantai Pribumi” yang sengaja menyudutkan etnik tertentu.

Kerusakan yang ditimbulkan pesan semacam ini bertambah parah jika hoaks berjubahkan teori konspirasi.

Ia bergeser dari sekadar salah tangkap pesan (misinformasi) menjadi pelintiran (disinformasi) atau bahkan menjadi fakta “alternatif” yang diniatkan untuk memobilisasi sentimen sosial (malinformasi).

Kalau ini yang menjadi konsumsi harian, gizi pola pikir kita, dunia macam apa menanti di depan?

Kita gagal paham mengapa hoaks tetap diproduksi. Banyak yang mengira, ah itu hanya dikonsumsi orang-orang dangkalan. Orang-orang yang pikirannya lelet.

Penelitian kami terhadap 114 dosen dan mahasiswa dari 33 perguruan tinggi di Indonesia tahun 2017 menunjukkan bahwa dunia akademik pun tak lolos dari muslihat ini.

Sebanyak 46 persen menganggap dunia akademik tak beda jauh dengan masyarakat umum dalam kaitan dengan produksi dan konsumsi hoaks.

Kemudian, 13 persen dari mereka bahkan “menenggang” bahwa hoaks boleh saja diproduksi tergantung tujuannya (lihat laporan penelitian di tautan https://www.academia.edu/38441970/Beyond_Signal_and_Noise_Academics_Goes_Hoax_and_Hoaxtivism).

Pesan pelintiran dan berita lancung bukan hal baru dalam sejarah manusia. Semenjak manusia belajar berkomunikasi satu dengan lainnya, kapasitas menyerap pesan orang lain senantiasa mengandung benih keragaman interpretasi dan ambiguitas makna.

Jika pesan itu dilanjutkan kepada pihak lain, tak pelak berpotensi meleset dari makna semula. Itulah kenyataan kemanusiaan dan bagian dari kenyataan hidup sosial.

Tak ada pesan diterima sempurna dan diteruskan tanpa intinya tercecer atau teralihkan. Jika ceceran dan alihan pesan itu adalah hoaks, maka terimalah bahwa hoaks adalah salah satu genre komunikasi.

Tapi ini bukan saja soal pola komunikasi, hoaks juga mengejawantahkan sikap terhadap sang liyan, ketakutan akan perbedaan, imajinasi sosial yang monolitik, dan kerinduan akan otoritas yang kuat.

Hoaks masa kini adalah efek teknologi digital dan logika media sosial. Tak peduli pesan itu adalah kebenaran atau muslihat semuanya dikemas dalam instrumen digital.

Sulit untuk tabbayun di luar sistem ini. Sedangkan logika digital memuliakan tontonan, sensasionalisme, dan viralitas.

Dalam hal ini hoaks bukan semata informasi lancung melainkan menjadi hoakstivisme, aktivisme yang sadar tak sadar memproduksi, mengonsumsi, dan menebar hoaks. Semua orang rentan untuk terpeleset menjadi hoakstivis. 

Alih-alih menciptakan keterbukaan, dunia digital saat ini mendorong pembentukan sekat-sekat maya, khususnya di antara kelompok yang berpikiran sejenis (homofilial).

Ia menciptakan ruang gema (echo chamber) di mana orang hanya mendengar dan meneguhkan apa yang sudah ia percaya.

Apalagi si penyebar adalah tokoh dan panutan kita. Masak sih kita tidak percaya padanya? Tapi inilah lahan subur hoakstivisme.

Bentuk mutan hoakstivisme adalah politik informasi. Ia sudah menjadi kenyataan politik, khususnya ketika terjadi pemilu sebab terbukti efektivitasnya. Pemilu mana di dunia ini yang tak melibatkan hoaks?

Salah satu tekniknya adalah firehose of falsehood. Muslihat yang terus menerus disemburkan ke publik akan perlahan menjadi tekanan yang menggoyahkan iman seseorang lalu menerimanya sebagai “kebenaran.”

Tak hanya itu. Kebenaran yang dirangkul menjadi energi bagi mobilisasi sosial. Kita lihat buktinya sejak pemilihan gubernur DKI Jakarta pada 2016 hingga saat masa pandemi ini.

Harapannya tinggal pada kemauan kita membebaskan diri dari sihir ruang gema. Kita perlu mengakui dan merengkuh kerentanan kita terhadap kecenderungan hoakstivisme ini sambil membangun budaya kritis.

Syukurlah, di masa pandemi corona, virus hoakstivisme bukanlah satu-satunya kenyataan. Virus pengharapan juga merebak lintas kelompok dan lintas keyakinan.

Orang merasakan demokratisasi nasib dan bersedia keluar dari kenyamanan kelompoknya sendiri dan saling membantu. Semoga itu menjadi pemulih mala digital yang dihasilkan oleh hoakstivisme. (Leonard Chrysostomos Epafras, Pengajar di Universitas Kristen Duta Wacana)

 

https://nasional.kompas.com/read/2020/06/29/18153411/virus-hoakstivisme-hati-hati-terpeleset-jadi-hoakstivis

Terkini Lainnya

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke