JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengungkapkan, penyiksaan siber (cyber torture) menjadi salah satu bentuk penyiksaan baru yang diprediksi bakal banyak terjadi ke depan.
Penyiksaan jenis ini tidak dilakukan dalam jarak dekat sebagaimana penyiksaan fisik.
"Penyiksaan siber ini menjadi salah satu situasi baru di sektor penyiksaan yang akan muncul dan akan ramai ke depannya mungkin untuk melakukan penyiksaan-penyiksaan yang bisa dilakukan tidak dalam jarak dekat atau penyiksaan fisik," kata Peneliti Kontras Rivanlee Anandar dalam konferensi pers yang digelar virtual, Kamis (26/6/2020).
Baca juga: Anggota Komisi III: Bila Ravio Patra Bukan Penyebar Berita Hasutan Sebaiknya Buktikan
Kontras berpandangan, penyiksaan siber dilakukan secara digital yang bentuknya dapat berupa intimidasi, pelecehan, mempermalukan, memfitnah, atau memanipulasi informasi data korban yang bersifat pribadi.
Negara, aktor nonnegara dan penjahat terorganisir memiliki kapasitas untuk melakukan operasi siber dan mungkin juga melakukannya demi tujuan penyiksaan.
Belakangan, kasus penyiksaan siber terjadi pada pegiat advokasi yang kerap mengkritik pemerintah, Ravio Patra.
Pada April lalu, Ravio sempat ditahan dan dituduh menyebarkan pesan bernada provokatif melalui aplikasi Whatsapp, padahal saat itu aplikasinya sedang diambil alih peretas.
Baca juga: Kronologi Penangkapan Aktivis Ravio Patra Versi Polisi dan Klarifikasi Kedubes Belanda
Penyiksaan siber juga sempat dialami panitia diskusi Constitutional Law Society (CLS) atau Komunitas Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM).
Panitia mendapatkan teror oleh orang tak dikenal berupa ancaman pembunuhan melalui pesan yang dikirim melalui ponsel. Rumah panitia pun sempat disatroni oleh sejumlah orang tak dikenal.
Akibat ancaman itu, diskusi bertema "Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan" yang sedianya digelar Jumat (29/5/2020) pun batal.
Rivanlee menyebut, dampak dari penyiksaan siber tak kalah besar dari penyiksaan fisik. Korban dapat mengalami trauma berkepanjangan, bahkan meningkatkan risiko bunuh diri.
"Dari keterangan yang kami coba kumpulkan dari kasus-kasus atau dari korban-korban yang mengalami cyber troture itu semuanya mengaku merasa depresi, cemas, memiliki trauma berkepanjangan dan memiliki bayang-bayang akan peristiwa serupa terjadi kembali," ujar Rivanlee.
Baca juga: Mahfud Minta Polri Usut Pelaku Teror terhadap Panitia Diskusi CLS UGM
"Individu akan merasa kehilangan rasa amannya untuk menyampaikan ekspresinya di ruang digital yang mana sebelumnya publik juga sudah banyak yang terancam ekspresinya di ruang-ruang nyata atau secara langsung di lapangan," tutur dia.
Dalam kasus penyiksaan siber, lanjut Rivanlee, negara atau aparat kepolisian bisa saja menjadi aktor pelanggaran HAM.
Hal itu terjadi apabila negara mendiamkan suatu peristiwa yang sebenarnya sudah diketahui atau dilaporkan ke pihak kepolisian. Dalam hal ini, negara dapat disebut lalai.
"Kelalaian dan pembiaran terjadi saat adanya pelaporan adanya suatu pelanggaran, namun tidak ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian. Sehingga, potensi keberulangan peristiwa berpotensi terjadi kembali," ujar Rivanlee.
Baca juga: Diteror karena Jadi Pembicara Diskusi CLS UGM, Guru Besar UII Yogya Lapor Polisi
Oleh karenanya, Kontras meminta supaya negara dapat mulai memberikan perhatian pada kasus penyiksaan siber.
Kontras meminta agar kasus yang dialami oleh Ravio Patra dan panitia diskusi CLS UGM tidak lagi terjadi di kemudian hari.
"Memulai perhatian terhadap penyiksaan siber dan melakukan penelusuran perihal pelaku penyiksaan siber yang melakukan manipulasi informasi, doxxing, dan ancaman supaya kejadian serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari," kata Koordinator Kontras dalam konferensi pers yang sama.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.