Seperti saat rapat kerja antara penyelenggara pemilu dengan DPR dan pemerintah (9/6/2020) mengajukan tambahan anggaran seperti KPU mengajukan tambahan Rp 4,7 triliun, Bawaslu mengajukan tambahan Rp 478 miliar, dan DKPP mengajukan tambahan sebesar Rp 39 miliar.
Mengenai anggaran pilkada ini juga dipengaruhi kemampuan fiskal di setiap daerah penyelenggara pilkada yang berbeda-beda. Kementerian Dalam Negeri melansir sebanyak 206 daerah dari 270 daerah yang menyatakan mampu pendanaan melalui skema APBD tanpa bantuan APBN.
Dalam rapat kerja DPR dan Pemerintah bersama penyelenggara, pemerintah berkomitmen untuk memberikan dukungan tambahan pendanaan pilkada tahap pertama (Juni) sebesar Rp 1,024 triliun.
Kedua, tantangan kualitas pelaksanaan pilkada di era pandemi. Indikator kualitas tidaknya pelaksanaan pilkada tentu yang utama tak lain pelaksanaan pilkada dilakukan secara demokratis yang di dalamnya terdapat sejumlah indikator penting yang tak bisa ditawar-tawar.
Di antaranya mengenai partisipasi masyarakat dalam pilkada 2020 ini. Persoalan partisipasi pemilih dalam pilkada di tengah pandemi merupakan tantangan serius bagi penyelenggara pemilu.
Baca juga: DPR Desak Pemerintah Segera Cairkan Tambahan Anggaran Pilkada 2020
Sebanyak 106 juta pemilih dalam penyelenggaraan pilkada di 270 daerah harus dipastikan partisipasinya dalam pilkada.
Meningkatkan partisipasi pemilih di situasi pandemi saat ini tentu bukan perkara mudah, apalagi hingga mampu menyamai persentase partisipasi pemilih seperti pilkada serentak 2018 lalu yang cukup tinggi yakni sebanyak 73,24 persen.
Penyelenggara pilkada harus memastikan keamanan dan keselamatan pemilih atas ancaman penularan Covid-19 pada saat melakukan pencoblosan menjadi salah satu langkah untuk meningkatkan partisipasi pemilih di tengah pandemi.
Di samping itu, sosialisasi pelaksanaan pilkada semestinya lebih dimaksimalkan. Opsi mengurangi sosialisasi penyelenggaraan pilkada karena alasan pandemi merupakan opsi yang kontraproduktif mengingat ancaman rendahnya partisipasi masyarakat membayangi pilkada di musim pandemi ini.
Penyelenggara dituntut untuk melakukan terobosan dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pilkada.
Di isu yang sama, penyampaian visi misi kandidat yang merupakan manifestasi dari program dan rencana kebijakan kandidat semestinya juga dibuat terobosan agar calon pemilih lebih mengenal dan menakar program kerja para calon.
Upaya ini, dalam semangat yang sama, untuk memastikan calon pemilih mengetahui program kerja yang diusung calon.
Masalah lainnya yakni peluang praktik politik uang (money politic) di tengah pandemi. Kondisi perekonomian masyarakat yang terdampak serius akibat pandemi Covid-19 ini dapat menjadi alasan bagi para kandidat untuk membagi-bagi uang, sembako dan sejenisnya atas nama bantuan sosial bagi masyarakat terdampak.
Oleh karennaya, di tengah kondisi pandemi ini, ruang praktik politik uang seolah menemukan momentumnya
Di samping itu, politisasi program jaring pengaman sosial (social safe net) yang digulirkan pemerintah dalam rangka bantuan atas dampak pandemi Covid-19 kepada masyarakat, juga rawan menjadi ruang politisasi bagi kandidat petahana (incumbent).