PELABUHAN Sisilia, Italia, di bulan Oktober 1347. Orang-orang berkumpul di dermaga. Mereka gembira menyambut 12 kapal yang bersandar setelah berlayar dari Laut Hitam.
Tiba-tiba dalam sekejap, kegembiraan berubah menjadi kengerian. Kerumunan orang-orang itu disuguhi kejutan mengerikan.
Di kapal itu, sebagian besar pelaut telah meninggal. Pelaut-pelaut yang masih hidup terkapar sakit parah. Kondisinya amat mengenaskan. Di tubuh mereka terdapat bisul hitam yang bernanah dan berdarah.
Seketika 12 kapal itu menjadi "kapal-kapal kematian". Penguasa setempat bergerak cepat memerintahkan armada "kapal-kapal kematian" itu keluar dari kawasan pelabuhan.
Meskipun sudah bertindak cepat tetapi sayangnya sudah terlambat. Kalah cepat dengan penularan penyakit tersebut.
Baca juga: Pala yang Mencegah Wabah Black Death | 800.000 Tulip di Jepang Terpaksa Dipotong
Hanya dalam sekejap, itulah awal petaka pun yang menghantui Eropa selama lima tahun kemudian. Itulah pandemi black death (kematian hitam).
Diperkirakan setidaknya sepertiga populasi Eropa atau sekitar 25 juta jiwa mati selama pandemi 1347-1351. Peradaban Eropa pun berhenti berdetak.
Dalam sejarah keruntuhan peradaban bangsa, Ian Morris, profesor sejarah Universitas Stanford dalam satu sesi di Forum Ekonomi Dunia 2016 mencatat kembali lima faktor yang saling kait-mengait: ledakan penduduk, perang, bencana dan kelaparan, pandemi penyakit, dan perubahan iklim.
Menurut Luke Kemp, peneliti Pusat Studi Risiko Eksistensial Universitas Cambridge, tidak ada faktor tunggal yang meruntuhkan peradaban (Are We on the Road to Civilisation Collapse?, BBC, 19 Februari 2019).
Selain faktor perubahan iklim, degradasi lingkungan, ketimpangan politik dan menguatnya oligarki, ada juga kejutan eksternal yang disebut "empat penunggang kuda", yakni perang, bencana alam, kelaparan, dan penyakit.
Kasus black death menunjukkan betapa wabah penyakit menjadi faktor kunci lenyapnya manusia bersama peradabannya.
Pasca Perang Dunia I (1914-1918) atau kurun 1918-1919, juga merebak pandemi flu spanyol (la grippe) yang menewaskan antar 40-50 juta penduduk dari sekitar 500 juta penduduk dunia yang terjangkit.
Eropa kehilangan banyak penduduknya. Paling mencolok adalah pandemi cocoliztli (mirip salmonella) yang memusnahkan bangsa Aztec di Meksiko. Dua kali wabah, tahun 1545-1548 dan 1576-1578, telah menewaskan sekitar 18 juta orang Aztec.
Baca juga: Jalan Tengah Menghadapi Pandemi Corona
Dalam rentang 1519-1619, penduduk Aztec tinggal 1 juta orang dari 25 juta orang. Aztec tak punya sumber daya manusia lagi untuk melawan Spanyol yang tidak hanya membawa pasukan dengan senjatanya tetapi juga penyakit tersebut.
Aztec pun punah. Maka, pandemi tidak dapat dipandang remeh terhadap keberlangsungan sebuah peradaban.